Sabtu, 14 Juni 2008

KEHAMILAN DENGAN INFEKSI HIV



PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodefisiensiensi Virus) adalah virus golongan retrovirus yang dapat bertahan dalam sel hidup dari organisme lain. Virus (HIV) ditemukan dan dapat diisolasi pada tahun 1983, sebagai penyebab terjadinya Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), Virus ini akan menyamarkan dirinya ke dalam material genetik sel yang disebut CD4 sel darah putih yang merupakan bagian dari sistem imun. Proses ini disebut reverse transcription, dan memungkinkan virus ini untuk bereplikasi. Hal ini memicu untuk rusaknya CD4 sel dan menghancurkan sistem imun.

DEFINISI
HIV (Human Immunodefisiensiensi Virus) adalah virus golongan retrovirus yang dapat bertahan dalam sel hidup dari organisme lain.Sindrom Immunodefisiensi yang didapat (AIDS=Acquired immunodeficuency syndrome) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh retrovirus yang dikenal dengan nama Human T-cell lympotropic virus (HIV).

EPIDEMIOLOGI
Indonesia telah memasuki epidemi gelombang kelima dengan tanda munculnya infeksi HIV pada ibu rumah tangga. Tahun 1998 tercatat ada sekitar 764 kasus, tetapi kasus ini masih diragukan karena tidak ada orang yang bersedia secara sukarela untuk melakukan pemeriksaan terhadap dirinya. Penyakit HIV merupakan penyakit yang diibaratkan gunung es, dimana pangkalnya jauh lebih besar dari ujungnya yang tampak pada permukaan.
Setiap tahun lahir sekurangnya 7000 bayi dari ibu yang terinfeksi oleh HIV. Risiko penularan vertikal desertai oleh penyakit tingkat lanjut, hitung limfosit CD4 (T4) rendah, dan beban virus meningkat. Risiko penularan 8-30%.
Menurut WHO sekitar 10 juta bayi lahir hidup di seluruh dunia terinfeksi dengan virus HIV dimana 600.000 bayi terinfeksi dengan transmisi perinatal.

PERJALANAN PENYAKIT
Infeksi virus HIV akan menghancurkan CD4 T Lymposit yang mempunyai tugas utama untuk mempertahankan dan menurunkan sifat imun. Virus HIV dapat bergandengan dengan permukaan glikoprotein CD4 sel sehingga selanjutnya masuk ke dalam sel dan menghancurkannya. Sasaran berikutnya dari virus HIV adalah makrofag dan sistem saraf pusat.
Lymposit tepi hanya terinfeksi sekitar 2-3%, selebihnya adalah organ lymposit yang membentuk koloni dan menyebabkan hilangnya memori CD4 T sel sehingga dapat menghilangkan kemampuan imunologis. Perjalanan lebih lanjut adalah terjadinya destruksi berkelanjutan sehingga kemampuan pertahanan tubuh dalam bentuk reaksi imunologis gagal total yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel CD4 dan T sel. Sekitar 18 bulan sebelum terjadinya AIDS, reaksi tubuh adalah hancur dan turunnya T sel darah tepi sehingga seluruh pertahanan tubuh mengalami kemunduran.

PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE BAYI
Cara penularan HIV dari ibu ke bayi belum diketahui secara pasti. Namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan(waktu bayi dilahirkan). Selain itu bayi juga dapat tertular waktu disusui. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut
Ada beberapa faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan penularan akan terjadi. Yang paling mempengaruhi adalah tingkat viral load (jumlah virus dalam darah) ibunya.
Oleh karena itu salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak terdeteksi- seperti juga ART untuk siapa pun dengan HIV. Viral load terutama penting pada waktu melahirkan. Jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor resiko penularan.
Faktor resiko lain termasuk kelahiran prematur ( bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan.
Beberapa pokok kunci:
• Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya.
• Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya.
• Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.

DIAGNOSIS HIV
1. PADA IBU
Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium :
• Uji antibodi HIV digunakan untuk menapis infeksi.
• Pengujian ELISA atau EIA positif secara berulang, diperkuat dengan uji Western blot sebelum hasil positif tersebut dilaporkan.
• Untuk hasil positif palsu, dilakukan reaksi silang ELISA dan EIA dengan antibodi-antibodi lain.
• Uji Western blot yang belum pasti harus diulang dalam 3 sampai 6 bulan.
• Jarang terjadi hasil positif palsu dari uji Western blot.
• Hasil yang belum jelas harus diperkuat dengan biakan virus atau uji PCR.
• Uji PCR dan biakan virus sangat sensitif, karena diuji langsung terhadap keberadaan virus, namun sangat mahal.
• Pengukuran PCR terhadap muatan virus juga digunakan untuk memonitor perjalanan infeksi dan respons terhadap pengobatan.


2.PADA BAYI
Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu menyusui. Bila infeksi menularkan melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa bulan. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.

Tes Antibodi
Antibodi terhadap HIV diserahkan dari ibu ke janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang terlahir oleh ibu yang HIV-positif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu melahirkan. Sedikitnya, antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah antibodi ibu mulai berkurang, dan hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan. Sebaliknya, setalah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam tiga bulan sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan terakhir dengan hasil tes HIV negatif tidak terinfeksi HIV.

Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR, yang biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat deteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih sangat mahal (lebih dari Rp 1 juta) dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR baru setelah lahir, sementara kebanyakan akan menunjukkan hasil positif pada usia 14 hari. Namun virus pada 10 persen bayi terinfeksi HIV baru terdeteksi setelah enam minggu. Namun bila anak atau ibunya dulu memakai obat antiretroviral (terutama nevirapine) untuk mencegah penularan HIV ke bayi waktu melahirkan, virus mungkin tetap ditekankan dan tidak terdeteksi sampai empat bulan.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya dua tes virus dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi. Tes ini dapat dilakukan setelah usia satu bulan, atau empat bulan bila ARV sebelumnya dipakai oleh ibu atau bayi. Sebaiknya juga tes antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.

Protokol Tes yang Diusulkan
Penyakit yang diakibatkan HIV dapat berlanjut secara cepat pada bayi: angka kematian mendekati 50 persen pada anak terinfeksi HIV di bawah dua tahun bila HIV-nya tidak diobati. Jadi dengan semakin luas ketersediaan terapi antiretorviral (ART) untuk bayi dan anak, tujuan kita dengan menentukan apakah bayi terinfeksi secara dini terutama untuk bertemu bayi HIV-positif yang membutuhkan perawatan dan pengobatan daripada sekadar untuk konfirmasi ketidakadaan infeksi HIV.
Sementara tes PCR yang positif (bila dikonfirmasi) membuktikan bahwa bayi terinfeksi HIV, seperti dibahas di atas, tes PCR yang negatif tidak membuktikan bahwa bayi tidak terinfeksi. Namun, hasil PCR negatif menunjukkan bahwa bayi tersebut tidak berisiko tinggi kelanjutan penyakit yang diakibatkan HIV (karena viral load-nya rendah). Bayi dengan tes PCR negatif dan tetap tidak bergejala sebaiknya dites antibodinya setelah berusia 18 bulan atau tiga bulan setelah penyusuan dihentikan. Sebaliknya seorang bayi dengan hasil tes PCR negatif tetapi bergejala sebaiknya mendapatkan tes diagnostik lanjutan. Walaupun gejala penyakit terkait HIV sering serupa dengan gejala penyakit umum pada masa kanak-kanak, dan harus dilakukan upaya untuk mengesampingkan diagnosis lain, tes PCR ulang diusulkan bila infeksi HIV dicurigai.


Garis Dasar
• Tes antibodi HIV yang positif pada anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak terinfeksi HIV
• Tes antibodi HIV yang positif pada anak di bawah usia 18 bulan tidak membantu membedakan anak terinfeksi HIV dari anak yang tidak terinfeksi
• Tes antibodi HIV yang negatif tiga bulan atau lebih setelah penyusuan dihentikan, atau kapan saja pada anak yang tidak disusui berarti anak tersebut tidak terinfeksi HIV
• Tes antibodi HIV yang negatif pada anak yang masih disusui atau dengan penyusuan baru saja dihentikan tidak cukup untuk mengesampingkan infeksi HIV. Tes harus diulang sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
• Tes PCR HIV yang positif yang langsung dikonfirmasi dengan tes ulang pada anak berusia enam minggu atau lebih berarti anak tersebut terinfeksi HIV
• Tes PCR HIV yang negatif pada anak berusia enam minggu ke atas tidak meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang berhenti disusui sebelum berusia 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV pada usia 18 bulan
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang meneruskan penyusuan setelah 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang mengembangkan gejala penyakit terkait HIV sebaiknya dites PCR HIV ulang

PENGOBATAN INFEKSI HIV
Pengobatan infeksi HIV belum diketemukan dengan baik karena duplikasi virus berlangsung sangat cepat, yaitu sekitar 6 jam, serta tidak mempunyai bentuk yang khas. Oleh karena itu, antibodinya belum ditemukan dengan pasti. Pengobatan yang diberikan saat ini hanya dalam bentuk antivirus yang diharapkan agar duplikasi dapat dihambat sehingga umur penderita dapat diperpanjang. Obat yang paling banyak dipergunakan adalah Zidovidine (AZT-ZDV) 2 kali 100 mg. Pengobatan ini mempunyai arti menghambat pertumbuhan reduplikasi virus sebagai profilaksis dan ditambah dengan pengobatan infeksi sekunder. Profilaksis infeksi HIV dilakukan dengan mempergunakan kondom dan bila pada pemerikasaan telah terjadi infeksi segera diberikan Zidovudine (ZDV) dengan selalu melakukan pemeriksaan terhadap CD4 dan T sel darah.
Zidovudine (ZDV) bisa menurunkan mortalitas maternal dan memperlambat permulaan infeksi mengambil kesempatan. Obat ini ditujukan untuk pasien-pasien yang terinfeksi HIV dengan hitung limposit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. dosis initial per os adalah 100 mg lima kali sehari. ZDV intravena yang diberikan dalam persalinan harus terdiri dari dosis permulaan 2 mg/kg seterusnya diikuti dengan infus 1 mg/kg sampai selesai melahirkan. Hitung darah harus dilakukan setiap bulan, keracunan darah mengharuskan penghentian sementara pemberian obat atau pengurangan dosis, walaupun kemanjuran dosis yang rendah belum diketahui dengan pasti. Pengaruh sampingan utama adalah pankreatitis dan neuropati pada saraf perasa yang menimbulkan rasa nyeri. Belum ada laporan tentang malformasi dari pengobatan ini. Bayi baru lahir harus terus diobati setiap hari selama 6 minggu.
Pada bulan 1994, dinas kesehatan nasional menghentikan penelitian klinik tentang penyelidikan pengaruh ZDV terhadap penularan HIV dari pasien-pasien yang terinfeksi kepada bayi mereka karena penularan virus secara vertikal menurun sebanyak dua pertiga. Ini adalah hasil dari suatu uji coba berkontrol yang dilakukan secara acak pada pasien-pasien yang memenuhi persyaratan kriteria penelitian. Tetapi harus didiskusikan dan ditawarkan kepada semua wanita hamil yang terinfeksi HIV.
Pemakaian zidovudin (retrovir) untuk mengurangi penularan perinatal Zidovudin (retrovir) juga dikenal sebagai ZDV, dahulu disebut AZT.

Selama kehamilan
Berdasarkan pada protokol 076 untuk kelompok uji coba klinis AIDS (AIDS Clinical Trial Group/ACTG), semua wanita yang hamil dan positif HIV harus dirujuk untuk terapi ZDV setelah trimester pertama.
Tiga program yang biasa digunakan adalah :
• ZDV 100 mg PO, 5 x sehari (protokol 076)
• ZDV 200 mg PO, 3 kali sehari.
Klien dengan anemia (Hb kurang dari 9) perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan transfusi, eritropoetin atau menghentikan pengobatan.


Pada persalinan
ZDV diberikan secara IV sebagai dosis pembebanan 2 mg/kgBB selama lebih dari satu jam, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap jam sampai kelahiran.

Pada bayi baru lahir
Syrup ZDV oral 2 mg/kgBB tiap 6 jam selama 6 minggu, yang dimulai pada 12 jam pertama kehidupan.

Namun demikian obat ini memiliki efek samping antara lain : Anemia, Neutropenia, Nausea, Insomnia, sakit kepala, ruam di kulit, dan Malaise


DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba Ida Bagus Gde, Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri & Ginekologi, EGC, Jakarta, 2003, hal. 287-289.
2. Rayburn William F., Carey J. Cristopher, Obstetri & Ginekologi, Widya Medika, Jakarta, 2001, hal. 107-110.
3. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, Departemen Kesehatan, Jakarta, 2006
4. Green Chris W, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan, Yayasan Spiritia, Jakarta, 2005
5. Watts, Heather ,Management of Human Immunodeficiency Virus Infection in Pregnancy. Available at : http://www.nejm.org
6. McGowan Joseph et al. Prevention of perinatal HIV transmission during pregnancy. Available at : http://www.jac.org
7. Diagnosis HIV pada anak, The Pediatric Clinical Manual, The International Center for AIDS Programs, Columbia University Mailman School of Public Health, 2005 . Available at : http://www.google.com

1 komentar:

Unknown mengatakan...

bagaimana keberhasilannya dok? apakah hal ini sudah dilakukan di indonesia?