Jumat, 12 Juni 2009

PENYAKIT ARTERI PERIFER PADA DIABETES

ABSTRAK

Peripheral arterial disease (PAD) is caused by atherosclerotic occlusion of the arteries to the legs, is an important manifestation of systemic atherosclerosis. PAD in people with diabetes is different from PAD associated with other risk factors and classic claudication. The prevalence of PAD in diabetic patients has been difficult to determine because many more diabetic patients are asymptomatic. A better assessment of the presence of PAD is provided by the ABI; PAD obstruction indicated when ABI values fall to ≤ 0,09.

The management PAD and diabetes patients is treatment of systemic atherosclerosis associated with PAD (such as hypertension, hyperlipidemia, cigarette smooking) beside thight glycemic control and anti platelet therapy. The ADA recommended anti platelet therapy with either aspirin or clopidogrel for all patients with diabetes. The CAPRIE study in the PAD subgroup result showed that clopidogrel was associated with risk reduction of 24% ischemic event compared with aspirin. PAD in people with diabetes may benefit more by taking clopidogrel.

Key words : PAD, diabetes, atherothrombosis

PENDAHULUAN

Diabetes melitus (DM) telah menjadi masalah utama kesehatan di dunia saat ini. Insiden DM meningkat dari tahun ke tahun dan dalam jangka waktu 15 tahun akan terjadi kenaikan dua kali seiring dengan terjadi perubahan gaya hidup. Penyebab utama mobiditas dan mortalitas pada DM adalah komplikasi makrovaskular dimana risiko penyakit jantung koroner dan penyakit arteri perifer pada DM type 2 adalah 2-4 kali dibandingkan non diabetik.

Penyakit Arteri Perifer atau Peripheral Arterial Disease (PAD) adalah penyakit karena oklusi pembuluh darah perifer bisa pada aorta, iliaka maupun arteri pada ektremitas bawah. PAD dan diabetes memerlukan perhatian sebab dibandingkan dengan PAD dengan faktor risiko lain, PAD pada diabetes berbeda dalam biologi, gambaran klinik dan penatalaksanaan. Keterlibatan vaskular sedikit unik dimana tersering pada pembuluh darah dibawah lutut dan hampir selalu disertai dengan neuropati. Oleh sebab itu, sering tanpa gejala atau hanya merasakan keluhan yang tidak jelas tidak seperti gejala klasik PAD seperti klaudikasio intermiten. Sehingga sebagai konsekuensi dari adanya neuropati, sering penderita PAD dan diabetes datang terlambat dan sudah dengan gejala rest pain, ulkus sampai gangren.1

Hal lain yang menjadi perhatian adalah PAD secara signifikan merupakan marker penyakit sistemik vaskular. Penyakit jantung koroner dan penyakit cerebrovaskular sering menyertai individu dengan PAD, dan PAD sendiri bisa menggambarkan akan peningkatan risiko kejadian aterotrombotik pada jantung dan otak. Dalam jangka lebih 5 tahun, 20% pasien PAD akan mengalami non fatal MI atau stroke, dan 30% akan mengalami kejadian fatal (kematian mendadak)2. Pada PAD dengan critical limb ischemia (CLI) prognosis akan lebih buruk; 30% akan menjalani amputasi dan 20% akan meninggal dalam 6 bulan. 3

Berdasarkan hal diatas menjadi sangat penting untuk identifikasi dan diagnosa lebih dini PAD pada diabetes untuk menghindari risiko kardiovaskular dan cerebrovaskular yang lebih besar.

EPIDEMIOLOGI PAD DAN DIABETES

Prevalensi diperkiraan hampir mengenai 10 juta orang di Amerika Serikat, dengan distribusi yang sama baik wanita maupun pria ; tidak diketahui dengan pasti berapa banyak yang disertai diabetes. Data dari Framingham Heart Study4 menunjukkan 20% pasien dengan gejala (simptomatic) PAD menderita diabetes. Walaupun diabetes merupakan faktor risiko yang kuat untuk terjadinya PAD tetapi umumnya prevalensi PAD pada diabetes underestimated dengan kata lain prevalensi sebenarnya sulit ditentukan. Prevalensi dengan pengukuran ankle – brachial index (ABI) menunjukkan prevalensi PAD pada individu diabetes usia > 40 tahun adalah 20%5. Sedang pasien PAD usia >50 tahun, prevalensi diabetes diestimasi sekitar 29%6.

DIABETES DAN RISIKO ATEROTROMBOSIS

Diabetes berpengaruh pada hampir semua pembuluh darah, dan ada keunikan dari pengaruh diabetes pada peristiwa aterotrombosis pembuluh darah perifer. Perubahan-perubahan metabolik pada diabetes akan berpengaruh pada perubahan struktur dan fungsi dinding arteri. Onset dari perubahan ini telah lebih dulu terjadi sebelum muncul klinis diabetes, jadi relatif sedikit pengetahuan biologi PAD pada pasien diabetes. Begitupun, kelihatannya perubahan-perubahan aterogenik yang diamati pada penyakit aterosklerotik seperti pada pembuluh darah koroner dan karotis umumnya bisa juga diaplikasikan pada pasien PAD dengan diabetes.

Inflamasi

Inflamasi telah terbukti sebagai marker risiko penyakit aterotrombosis termasuk PAD7. Meningkatnya CRP berhubungan kuat dengan terjadinya PAD8. Telah terbukti level CRP meningkat pada pasien dengan gangguan toleransi glukosa dan diabetes. CRP telah terbukti berikatan dengan reseptor endotel sehingga memacu apoptosis. CRP juga merangsang endotel untuk memproduksi procoagulan tissue factor, leucocyte adhesion molecule dan substansi kemotaksis dan menghambat produksi NO synthase endotel (eNOS) sehingga tonus vaskular menjadi abnormal. CRP juga meningkatkan produk lokal yang mengganggu fibrinolisis seperti plasminogen activator inhibitor (PAI)-1.

Disfungsi endotel

Endotel yang berada pada permukaan pembuluh darah secara biologi adalah organ aktif. Endotel berperan pada menjaga keseimbangan antara trombosis dan fibrinolisis dan berperan utama pada interaksi lekosit dan dinding vaskular. Kelainan pada fungsi endotel akan memudahkan arteri mengalami aterosklerosis.

Pada pasien diabetes, termasuk PAD menunjukkan kelainan pada fungsi endotel dan regulasi vaskular9. Mediator disfungsi endotel pada diabetes sebenarnya banyak, tetapi yang terutama adalah gangguan pada bioavailabilitas NO. Hiperglikemia akan menghambat fungsi endotel NOS (eNOS) dan mendorong produksi ROS (reactive oxigen species), yang mengganggu fungsi vasodilator endotelium. NO merupakan stimulus yang potensial untuk vasodilatasi, dan membatasi reaksi inflamasi melalui modulasi interaksi lekosit dan dinding vaskular. NO juga menghambat migrasi VSMC (vascular smooth muscle cell) juga proliferasi dan aktifasi platelet. Sehingga berkurangnya peran hemostasis normal NO endotel akan memacu aterosklerosis dan konsekwensi komplikasi lanjut. Dan ada mekanisme lain yang mempengaruhi homeostasis NO termasuk diantaranya resistensi insulin, dan produksi FFA (free fatty acid) 10.

Efek lain dari disfungsi endotel adalah aktifasi reseptor advanced glycation end products (RAGE), sehingga meningkatkan inflamasi lokal dinding vaskular, diperantarai oleh meningkatnya produksi faktor transkripsi, nuclear factor – ĸB (NF-ĸB) dan activator protein 111.

Platelet

Sama seperti endotel, platelet akan mengambil lebih banyak glukosa dan meningkatkan stress oksidatif sehingga platelet lebih mudah aggregasi. Platelet pada pasien diabetes akan lebih mengekspresikan glycoprotein Ib dan IIb/IIIia receptor, yang mana penting dalam trombosis via adhesi dan aggregasi platelet.

Koagulasi dan Rheologi

Ada berbagai elemen kelainan trombosis dan fibrinolisis pada pasien diabetes. Diabetes akan menyebabkan keadaan hiperkoagulasi (hypercoagulable state) . Ini sangat berkaitan dengan peningkatan produksi tissue factor oleh endotel dan VSMC, sehingga meningkatkan konsentrasi faktor VII plasma. Hiperglikemi juga berkaitan dengan menurunnya konsentrasi anti thrombin dan protein C sehingga mengganggu sistem fibrinolitik. Diabetes akan meningkatkan faktor-faktor prokoagulasi di sirkulasi, seperti fibrinogen dan von Willebrand’s factor; sebaliknya faktor-faktor antikoagulan berkurang, seperti antithrombin III. Diabetes juga menurunkan konsentrasi tissue plasminogen activator (t-PA) dan sementara produksi plasminogen activator inhibitor (PAI-1) dan inhibitor t-PA berlebihan; dan juga alpha2-antiplasmin berkurang12.

Sebagai kesimpulan, diabetes akan meningkatkan risiko aterogenesis melalui berbagai efek pada dinding vaskular, efek terhadap sel-sel darah dan reologi. Kelainan vaskular yang menyebabkan aterosklerosis pada pasien diabetes terbukti telah ada sebelum diabetesnya didiagnosis, dan akan semakin memburuk sesuai dengan lamanya diabetes dan tidak terkontrolnya glukosa darah.

DIAGNOSA PAD

Gejala klinis dan pemeriksaan fisik serta identifikasi faktor risiko PAD, seperti merokok, hipertensi, hiperlipidemia, gejala kaludikasio, rest pain, dan gangguan fungsional. Disamping itu usia lanjut, lamanya diabetes dan adanya neuropati merupakan faktor risiko yang juga penting. Predileksi aterosklerosis adalah pada bagian distal pembuluh darah terutama di daerah lutut dibawah fossa poplitea. Sehingga gejala klinis bergantung pada tempat dan beratnya stenosis. Gejala klasik dimana stenosis masih ringan adalah Intermittent claudication yaitu rasa nyeri, kram, yang dirasakan pada daerah betis yang timbul sewaktu aktifitas berjalan dan menghilang sewaktu istirahat. Tetapi adanya neuropati pada diabetes akan memberikan gejala yang tidak jelas seperti kaki mudah lelah ataupun berjalan lebih lambat atau malah sering tanpa keluhan. Keluhan ini harus diidentifikasi pada setiap pasien diabetes sebelum perjalanan klinik ataupun stenosis lebih berat. Jika stenosis lebih berat akan timbul gejala rest pain dimana menunjukkan iskemia kritis (critical limb ischemia) umumnya bagian distal; iskemia kaki disertai ulkus, dan gangrene.

Pemeriksaan fisik dengan inspeksi pada kaki dan palpasi pulsus perifer harus dilakukan. Adanya insufisiensi vaskular pada kaki ditandai dengan dependent rubor, pucat kalau kaki ditinggikan, hilangnya bulu kaki, kuku distrofik, retak-retak (fissured) pada kulit kaki. Palpasi pulsasi vaskular perifer dilakukan khususnya pada pembuluh darah femoral, popliteal dan pedal walaupun ini memerlukan latihan dan pengalaman yang cukup terlatih oleh karena variasi hasilnya. Pada populasi sehat normal bisa dijumpai 8% dengan tanpa teraba pulsasi dorsalis pedis dan 2% tanpa teraba pulsasi tibialis posterior. Tidak terabanya kedua pulsasi mengindikasikan kuat adanya kelainan vaskular.

Pemeriksaan noninvasif ABI

Pemeriksaan yang lebih baik diperlukan untuk menentukan PAD mengingat seringnya klinis PAD pada diabetes tanpa gejala ataupun gejala yang tidak jelas yaitu dengan pengukuran ABI (ankle brachial pressure index). Pemeriksaan ini cukup akurat, cepat, sederhana dan noninvasif. ABI adalah rasio tekanan darah sistolik pada ankle dibagi tekanan darah sistolik pada lengan (brachial) dengan menggunakan handheld Doppler (probe 5-10 MHz). Pengukuran ABI dimulai dengan pasien berbaring terlebih dahulu 5 menit dan memeriksa 6 tempat tekanan darah sistolik (arteri brachialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior pada kaki kiri dan kanan) dan masing-masing diambil nilai yang tertinggi dengan nilai normal diantara 0,91- 1,30. Interpretasi hasil pengukuran dapat dilihat pada tabel.

Harus diwaspadai jika ABI>1,30 kemungkinan false negatif (gangguan kompresi) oleh sebab kalsifikasi medial arteri sehingga arteri lebih kaku. Jika ada kecurigaan false negatif sebaiknya dilihat gambaran bentuk gelombang yang terekam atau dengan pemeriksaan toe pressure ABI<0,7.

ADA merekomendasikan untuk skrening PAD pada setiap pasien diabetes berusia > 50 tahun. Jika normal pemeriksaan dapat diulang setiap 5 tahun. Pasien diabetes usia <50> 10 tahun) harus segera dilakukan skrening1.

Tabel : Kriteria diagnostik PAD berdasarkan pengukuran ABI

Range

Diagnosis

0.91-1.30

Normal

0.70-0.90

Obstruksi ringan

0.40-0.69

Obstruksi sedang

<>

Obstruksi berat

> 1.30

Gangguan kompresi

PENGOBATAN PAD

Intervensi terhadap faktor risiko

Faktor risiko kardiovaskular pada individu dengan PAD sama dengan individu dengan diabetes. Walaupun masih sedikit data penelitian prospektif tetapi penanangan faktor risiko pada pasien PAD dan diabetes terbukti secara signifikan menurunkan risiko kejadian kardiovaskular. Beberapa konsensus para ahli merekomendasikan kontrol tekanan darah yang ketat dan serum kolesterol lebih bermanfaat dalam mencegah PAD, disamping program pengobatan antiplatelet13.

Hipertensi memerlukan kontrol yang baik sebab berkaitan dengan terjadinya proses aterosklerosis, yang sama dengan peningkatan risiko klaudikasio (claudication risk ) 2-3 kali. Heart Outcomes Prevention Evaluation (HOPE) study menunjukkan Ace inhibitor (ramipril) menurunkan laju kematian kardiovaskular, stroke dan MI. Dari 9297 pasien yang ikut penelitian ini, 4015 pasien dengan PAD, dan menunjukkan hal yang sama dalam menurunkan laju kematian kardiovaskular dibandingkan tanpa PAD14. Walaupun begitu, belum ada penelitian prospektif dalam melihat manfaat Ace-inhibitor pada pasien PAD.

Manfaat kontrol lipid terhadap morbiditas dan mortalitas kardiovaskular sudah terbukti, tetapi belum ada penelitian yang melihat manfaat pengobatan hiperlipidemia pada pasien PAD. Ada sejumlah penelitian yang melihat manfaat kontrol kolesterol darah15. Salah satunya adalah Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S),16 menunjukkan penurunan 38% dari perburukan ataupun penderita baru klaudikasio. Disamping itu faktor risiko lain seperti merokok juga punya peran yang besar dalam terjadinya ataupun eksaserbasi PAD pada pasien diabetes.

Hiperglikemi memang terbukti sebagai faktor risiko pada individu PAD, begitupun penelitian valid yang melihat manfaat kontrol glikemik yang ketat terhadap PAD masih belum cukup. Penelitian UKPDS13, dengan kontrol glikemik intensif secara signifikan menunjukkan penurunan diabetes endpoint dan stroke dan tidak signifikan menurunkan kejadian infark miokard; dan juga tidak menunjukkan secara signifikan penurunan risiko amputasi yang disebabkan PAD. Walaupun begitu, kontrol glikemik yang baik (A1C <7%)>

Pengobatan antiplatelet

Diberikan sebagai pengobatan lini pertama pada PAD yang simptomatik maupun asimptomatik. Antiplatellet Trialist Collaboration,17 suatu penelitian meta-analisis terhadap terapi antiplatelet pada 145 penelitian random yang melihat efikasi antiplatelet (terbanyak aspirin) dalam jangka panjang terhadap >100.000 pasien, dievaluasi subset pasien dengan klaudikasio >3000 pasien. Terapi antiplatelet menunjukkan tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap combined end point (MI, stroke dan kematian). Jadi, manfaat penggunaan aspirin untuk mencegah kejadian kardiovaskular dan kematian pada pasien PAD sebenarnya masih samar; begitupun penggunaan aspirin pada pasien diabetes tetap direkomendasikan1.

CAPRIE18 (Clopidogrel versus Aspirin in Patients at Risk of Ischemic Events) trial adalah penelitian yang membandingkan clopidogrel dan aspirin pada >19000 pasien dengan recent stroke, MI dan PAD stabil. Hasil studi menunjukkan 75 mg clopidogrel perhari menurunkan risiko relatif 8,7% dibandingkan dengan 325 mg aspirin perhari terhadap combined endpoint (MI, stroke dan vascular death). Pada subgrup PAD (>6000 pasien) clopidogrel menunjukkan penurunan risiko sebesar 24% dibandingkan aspirin; dan toleransi clopidogrel sama dengan aspirin. Sebagai konsekuensi dari CAPRIE study telah direkomendasikan untuk penggunaan clopidogrel atau aspirin sebagai pilihan pertama pengobatan pada semua kasus PAD19,20,21. Pada pasien PAD dan diabetes pemberian clopidogrel lebih memberikan manfaat dibandingkan antiplatelet lain1

Pengobatan simtomatik PAD

Pengobatan PAD pada pasien yang simptomatik (intermitten claudication) umumnya tidak memerlukan pengobatan yang invasif. Sebagai landasan pengobatannya adalah penangan faktor risiko secara keseluruhan dan mengurangi simptom yaitu dengan latihan (exercise) rehabilitasi ataupun pendekatan farmakologi. Latihan yang disupervisi ketat pada pasien PAD paling sedikit 3 bulan dalam bentuk treadmill walking selama 3 kali seminggu. Latihan dengan regimen yang teratur akan memperbaiki sebesar 134% - 179% untuk free-pain walking dan 96%-122% untuk kemampuan maximal walking. 15,22

FDA telah menyetujui penggunaan phosphodiesterase type III inhibitor untuk digunakan pada pasien PAD simptomatik dan terbukti dapat meningkatkan maximal walking time. Hanya harus dihindari penggunaannya pada pasien dengan gagal jantung ataupun fraksi ejeksi <40%23.

Kepustakaan

1. ADA Consensus Statement: Peripheral Arterial Disease in People with Diabetes. Diabetes Care. 2003;26:3333-3341.

2. Weitz JI, Byrne J, Clagett GP, et al. Diagnosis and treatment of chronic arterial insufficiency of the lower extremities: a critical review. Circulation. 1996;94:3026-3049.

3. Dormandy JA, Rutherford RB. Management of peripheral arterial disease (PAD): TASC Working Group: TransAtlantic Inter-Society Consensus (TASC). J Vasc Surg. 2000;31(suppl):S1-S296.

4. Murabito JM, D'Agostino RB, Silbershatz H, Wilson WF: Intermittent claudication: a risk profile from the Framingham Heart Study. Circulation 1997; 96:44 -49

5. Hirsch AT, Criqui MH, Treat-Jacobson D, et al. Peripheral arterial disease detection, awareness, and treatment in primary care. JAMA. 2001;286:1317-1324.

6. McDermott MM, Greenland P, Green D, et al. D-Dimer, inflammatory markers, and lower extremity functioning in patients with and without peripheral arterial disease. Clinical Investigation and Reports. Circulation. 2003;107:3191.

7. Beckman JA, Creager MA, Libby P: Diabetes and atherosclerosis: epidemiology, pathophysiology, and management. JAMA 2002; 287:2570-2581,

8. Ridker PM, Cushman M, Stampfer MJ, Tracy RP, Hennekens CH: Plasma concentration of C-reactive protein and risk of developing peripheral vascular disease. Circulation 1998; 97:425- 428

9. Veves A, Akbari CM, Primavera J, Donaghue VM, Zacharoulis D, Chrzan JS, De-Girolami U, LoGerfo FW, Freeman R: Endothelial dysfunction and the expression of endothelial nitric oxide synthetase in diabetic neuropathy, vascular disease, and foot ulceration. Diabetes 1998; 47:457-463

10. Steinberg HO, Baron AD: Vascular function, insulin resistance and fatty acids. Diabetologia 2002; 45:623- 634

11. Tsao PS, Wang B, Buitrago R, Shyy JY, Cooke JP: Nitric oxide regulates monocyte chemotactic protein-1. Circulation 1997; 96:934 -940. (abstract)

12. Sobel BE. Potentition of vasculopathy by insulin. Circulation 1996;93:1613

13. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group: Tight blood pressure control and risk of macrovascular and microvascular complications in type 2 diabetes (UKPDS 38). BMJ 1998; 317:703-713

14. Yusuf S, Sleight P, Pogue J, Bosch J, Davies R, Dagenais G: Effects of an angiotensinconverting-enzyme inhibitor, ramipril, on cardiovascular events in high-risk patients: the Heart Outcomes Prevention Evaluation Study Investigators. N Engl J Med 2000; 342:145-153,

15. Leng GC, Price JF, Jepson RG: Lipid-lowering for lower limb atherosclerosis (Cochrane Review). Cochrane Database Syst Rev 2:CD000123, 2000

16. Randomised trial of cholesterol lowering in 4444 patients with coronary heart dis-ease: the Scandinavian Simvastatin Survival Study (4S). Lancet 1994; 344:1383-1389

17. Antiplatelet Trialists' Collaboration: Collaborative overview of randomised trials of antiplatelet therapy. I: prevention of death, myocardial infarction, and stroke by prolonged antiplatelet therapy in various categories of patients. Br Med J 1994; 308: 81-106,

18. CAPRIE Steering Committee: A randomized, blinded, trial of clopidogrel versus aspirin in patients at risk of ischaemic events (CAPRIE). Lancet 1996; 348:1329- 1339

19. American Diabetes Association: Aspirin therapy in diabetes (Position Statement). Diabetes Care 2003 ; 26 (Suppl. 1):S87-S88,

20. Antiplatelet Theraphy in Perpheral Arterial Disease, Consensus Statement. Eur J Vasc Endovasc Surg 2003 ; 26,1-16

21. Tran H, Anand SS. Oral Antiplatelet Theraphy in Cerebrovascular Disease, Coronary Artery Disease, and Peripheral Arterial Disease. JAMA 2004;292:1867-1874

22. Larsen OA, Lassen NA: Effect of daily muscular exercise in patients with intermittent claudication. Lancet 1966; 2:1093- 1096,

23. Regensteiner JG, Ware JE Jr, McCarthy WJ, Zhang P, Forbes WP, Heckman J, Hiatt WR: Effect of cilostazol on treadmill walking, community-based walking ability, and health-related quality of life in patients with intermittent claudi-cation due to peripheral arterial disease: meta-analysis of six randomized controlled trials. J Am Geriatr Soc 2000; 50:1939- 1946 (abstract)

Jumat, 05 Juni 2009

ILEUS OBSTRUCTION (OBSTRUKSI ILEUS)

PENDAHULUAN

Obstruksi intestinal merupakan kegawatan dalam bedah abdominalis yang sering dijumpai, merupakan 60--70% dari seluruh kasus akut abdomen yang bukan appendicitis akuta. Penyebab yang paling sering dari obstruksi ileus adalah adhesi/ streng, sedangkan diketahui bahwa operasi abdominalis dan operasi obstetri ginekologik makin sering dilaksanakan yang terutama didukung oleh kemajuan di bidang diagnostik kelainan abdominalis.

Ada 3 hal yang tetap menarik untuk diketahui/diselidiki tentang obstruksi ileus, ialah :

  • Makin meningkatnya keterdapatan obstruksi ileus.
  • Diagnosa obstruksi ileus sebenarnya mudah dan bersifat universil; tetapi untuk mengetahui proses patologik yang sebenarnya di dalam rongga abdomen tetap merupakan hal yang sulit.
  • Bahaya strangulasi yang amat ditakuti sering tidak disertai gambaran klinik khas yang dapat mendukungnya.

Untuk dapat melaksanakan penanggulangan penderita obstruksi ileus dengan cara yang sebaik-baiknya, diperlukan konsultasi antara disiplin yang bekerja dalam satu tim dengan tujuan untuk mencapai 4 keuntungan :

  • Bila penderita harus dioperasi, maka operasi dijalankan pada saat keadaan umum penderita optimal.
  • Dapat mencegah strangulasi yang terlambat.
  • Mencegah laparotomi negatif.
  • Penderita mendapat tindakan operatif yang sesuai dengan penyebab obstruksinya.

PATOGENESA

Obstruksi ileus merupakan penyumbatan intestinal mekanik yang terjadi karena adanya daya mekanik yang bekerja atau mempengaruhi dinding usus sehingga menyebabkan penyempitan/penyumbatan lumen usus. Hal tersebut menyebabkan pasase lumen usus terganggu. Akan terjadi pengumpulan isi lumen usus yang berupa gasdan cairan, pada bagian proximal tempat penyumbatan, yang menyebabkan pelebaran dinding usus (distensi).Sumbatan usus dan distensi usus menyebabkan rangsangan terjadinya hipersekresi kelenjar pencernaan. Dengan demikian jumlah cairan dan gas makin bertambah yang menyebabkan distensi usus tidak hanya pada tempat sumbatan tetapi juga dapat mengenai seluruh panjang usus sebelah proximal sumbatan.

Sumbatan ini menyebabkan gerakan usus yang meningkat (hiperperistaltik) sebagai usaha alamiah. Sebaliknya juga terjadi gerakan anti-peristaltik. Hal ini menyebabkan terjadi serangan kolik abdomen dan muntah-muntah.Pada obstruksi usus yang lanjut, peristaltik mudah hilang oleh karena dinding usus kehilangan daya kontraksinya. Pada saat ini gambaran kliniknya dapat dikenal dengan :

  • gangguan kolik menghilang.
  • distensi usus berat.
  • gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa, serta dehidrasi berat.

Pada obstruksi usus dengan strangulasi, terjadi keadaan gangguan pendarahan dinding usus yang menyebabkan nekrosis/gangguan dinding usus. Bahaya umum dari keadaan ini adalah sepsis/toxinemia.

DIAGNOSA

Gambaran klinik obstruksi ileus sangat mudah dikenal, tidak tergantung kepada penyebab obstruksinya. Hanya pada keadaan strangulasi, nyeri biasanya lebih hebat dan menetap. Sekali berhadapan dengan kasus obstruksi ileus, timbul beberapa pertanyaan yang sekaligus diusahakan mendapat jawabannya :

  • Apakah penderita benar obstruksi ileus ?
  • Dimana letak obstruksinya ?
  • Apa proses patogenesa yang sebenarnya terjadi ?
  • Berapa jauh obstruksi ileus telah menyebabkan gangguan hemeostasis ?
  • Apakah sudah terjadi keadaan strangulasi ?

Obstruksi ileus ditandai dengan gambaran klinik, berupa nyeri abdomen yang bersifat kolik, muntah-muntah danobstipasi, distensi intestinalis, serta tidak adanya flatus. Rasa nyeri perut dirasakan sebagai menusuk-nusuk atau rasa mulas yang hebat, umumnya nyeri tidak menjalar. Pada saat datang serangan, biasanya disertai perasaan perut yang melilit dan terdengar semacam "suara" dari dalam perut.Bila obstruksi tinggi, muntah hebat bersifat proyektil dengan cairan muntah yang berwarna kehijauan. Pada obstruksi rendah, muntah biasanya timbul sesudah distensi usus yang jelas sekali. muntah tidak proyektil dan berbaru "feculent", warna cairan muntah kecoklatan.

Pada penderita yang kurus /sedang dapat ditemukan darm contour atau darm steifung; biasanya nampak jelas pada saat penderita mendapat serangan kolik. Pada saat itu,dalam pemeriksaan bising usus dapat didengarkan bising usus yang kasar dan meninggi (borgorygmi dan metalic sound). Untuk mengetahui ada tidaknya strangulasi usus, beberapa gambaran klinik dapat membantu :

  • Rasa nyeri abdomen yang hebat, bersifat menetap, makin lama makin hebat.
  • Pada pemeriksaan abdomen, didapatkan ascites.
  • Terdapatnya abdominal tenderness.
  • Adanya tanda-tanda yang bersifat umum, demam, dehidrasi berat, tachycardi, hipotensi atau shock.

PEMERIKSAAN RADIOLOGI

Secara klinik obstruksi ileus umumnya mudah ditegakkan. 90% obstruksi ileus ditegakkan secara tepat hanya dengan berdasarkan gambaran klinisnya saja. Pada foto polos abdomen, 60--70% dapat dilihat adanya peleharan usus dan hanya 40% dapat ditemukan adanya air-f luid level. Walaupun pemeriksaan radiologi hanya sebagai pelengkap saja, pemeriksaan sering diperlukan pada obstruksi ileus yang sulit atau untuk dapat memperkirakan keadaan obstruksinya pada masa pra-bedah.

Beberapa tanda radiologik yang khas untuk obstruksi ileus adalah :

Pengumpulan gas dalam lumen usus yang melebar, penebalan valvulae coniventes yang memberi gambaran fish bone appearance.Pengumpulan cairan. dengan gambaran khas air-fluid level.Pada obstruksi yang cukup lama, beberapa air fluid level memberikan gambaran huruf U terbalik.

Beberapa contoh gambar ileus obsruktif dengan USG Abdomen :

PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan obstruksi ileus sekarang dengan jelas telah menurunkan angka morbiditas dan mortalitas. Hal ini terutama disebabkan telah dipahaminya dengan tepat patogenesis penyakit serta perubahan homeostasis sebagai akibat obstruksi

usus.Pada umumnya penderita mengikuti prosedur penatalaksanaan dalam aturan yang tetap.

1. Persiapan penderita.

Persiapan penderita berjalan bersama dengan usaha menegakkan diagnosa obstruksi ileus secara lengkap dan tepat. Sering dengan persiapan penderita yang baik,obstruksinya berkurang atau hilang sama sekali.Persiapan penderita meliputi :

  • Dekompressi usus.
  • Koreksi elektrolit dan keseimbangan asam basa.
  • Atasi dehidrasi.
  • Mengatur peristaltik usus yang efisien.
  • Antibiotika. Pada umumnya persiapan penderita dapat berlangsung selama 4--24 jam sampai saatnya penderita siap untuk operasi.

2. Operatif.

Bila telah diputuskan untuk tindakan operasi, ada 3 hal yang perlu diperhatikan :

Berapa lama obstruksinya sudah berlangsung.

Bagaimana keadaan/fungsi organ vital lainnya, baik sebagai akibat obstruksinya maupun kondisi sebelum sakit.

Apakah ada risiko strangulasi.

Kewaspadaan akan resiko strangulasi sangat penting. Pada obstruksi ileus yang ditolong dengan cara operatif pada saat yang tepat, angka kematiannya adalah 1% pada 24 jam pertama, sedangkan pada strangulasi angka kematian tersebut 31%.

Pada umumnya dikenal 4 macam (cara) tindakan bedah yang dikerjakan pada obstruksi ileus.

(a) Koreksi sederhana (simple correction). Hal ini merupakan tindakan bedah sederhana untuk membebaskan usus dari jepitan, misalnya pada hernia incarcerata non-strangulasi, jepitan oleh streng/adhesi atau pada volvulus ringan.

(b) Tindakan operatif by-pass. Membuat saluran usus baru yang "melewati" bagian usus yang tersumbat, misalnya pada tumor intralurninal, Crohn disease, dan sebagainya.

(c) Membuat fistula entero-cutaneus pada bagian proximal dari tempat obstruksi, misalnya pada Ca stadium lanjut.

(d) Melakukan reseksi usus yang tersumbat dan membuat anastomosis ujung-ujung usus untuk mempertahankan kontinuitas lumen usus, misalnya pada carcinomacolon, invaginasi strangulata, dan sebagainya.

Pada beberapa obstruksi ileus, kadang-kadang dilakukan tindakan operatif bertahap, baik oleh karena penyakitnya sendiri maupun karena keadaan penderitanya, misalnya pada Ca sigmoid obstruktif, mula-mula dilakukan kolostomi saja, kemudian hari dilakukan reseksi usus dan anastomosis.

PASCA BEDAH

Suatu problematik yang sulit pada keadaan pasca bedah adalah distensi usus yang masih ada. Pada tindakan operatif dekompressi usus, gas dan cairan yang terkumpul dalam lumen usus tidak boleh dibersihkan sama sekali oleh karena mengandung banyak bahan-bahan digestif yang sangat diperlukan.

Pasca bedah tidak dapat diharapkan fisiologi usus kembali normal, walaupun terdengar bising usus. Hal tersebut bukanberarti peristaltik usus telah berfungsi dengan efisien, sementara ekskresi meninggi dan absorpsi sama sekali belum baik. Sering didapati penderita dalam keadaan masih distensi dan disertai diare pasca bedah.Tindakan dekompressi usus dan koreksi air dan elektrolit serta menjaga keseimbangan asam basa darah dalam batasnormal tetap dilaksanakan pada pasca bedahnya.

Pada obstruksi yang lanjut, apalagi bila telah terjadi strangulasi, monitoring pasca bedah yang teliti diperlukan sampai selama 6 - 7 hari pasca bedah. Bahaya lain

pada masa pasca bedah adalah toksinemia dan sepsis. Gambaran kliniknya biasanya mulai nampak pada hari ke4-5 pasca bedah. Pemberian antibiotika dengan spektrum luas dan disesuaikan dengan hasil kultur kuman sangatlah penting.

HEPOTOMA ( KANKER HATI )




Antigen Tumor

antigen merupakan bahan asing yang dikenal dan merupakan target yang akan dihancurkan oleh sistem kekebalan tubuh. antigen ditemukan di permukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap selnya sendiri.

jika sebuah sel menjadi ganas, antigen baru (yang tidak dikenal oleh sistem kekebalan) muncul dalam permukaan sel. sistem kekebalan mungkin mengenali antigen baru ini, yang disebut antigen tumor, sebagai benda asing dan bisa mengangkut atau menghancurkan sel-sel kanker. tetapi sistem kekebalan yang berfungsi baikpun tidak selalu mampu menghancurkan seluruh sel kanker.

antigen tumor telah ditemukan pada beberapa jenis kanker, yaitu melanoma maligna, kanker tulang (osteosarkoma) dan beberapa kanker saluran pencernaan.

penderita kanker tersebut memiliki antibodi yang melawan antigen tumor. antigen biasanya tidak mengeluarkan respon kekebalan yang cukup untuk mengendalikan kanker. tampaknya antibodi tidak mampu menghancurkan kanker dan bahkan kadang merangsang pertumbuhannya.

antigen yang dilepaskan ke dalam pembuluh darah oleh beberapa kanker bisa ditemukan pada pemeriksaan darah. antigen ini kadang disebut tumor marker (petanda tumor).

tumor marker lebih banyak digunakan dalam menegakkan diagnosis dan pengobatan kanker. misalnya pemeriksaan darah bisa membantu menjelaskan apakah pengobatan kanker efektif atau tidak. jika petanda tumor tidak lagi ditemukan dalam contoh darah, kemungkinan pengobatan telah berhasil. jika petanda tumor menghilang dan kemudian muncul lagi, kemungkinan kanker telah kembali kambuh.

antigen karsinoembrionik (carcinoembryonik antigen, cea) adalah antigen tumor yang ditemukan dalam darah penderita kanker usus besar, payudara, pankreas, kandung kemih, indung telur atau leher rahim.kadar antigen yang tinggi juga bisa ditemukan pada perokok sigaret berat dan penderita sirosis hati atau kolitis ulserativa.

karena itu kadar cea yang tinggi tidak selalu menunjukkan adanya kanker.

pengukuran kadar cea pada seseorang yang telah menjalani pengobatan untuk kanker, akan membantu mengetahui kekambuhan dari kanker.

alfa-fetoprotein (afp) yang dalam keadaan normal dihasilkan oleh sel-sel hati, ditemukan dalam darah penderita kanker hati (hepatoma). afp sering ditemukan pada penderita kanker indung telur tertentu atau kanker buah zakar dan pada anak-anak dan dewasa muda yang menderita tumor kelenjar hipofisa.


Tumor hati

tumor hati bisa jinak (benigna) maupun ganas (maligna). tumor yang ganas bisa berasal dari hati atau merupakan penyebaran (metasatase) dari bagian tubuh yang lain.

tumor ganas yang berasal dari hati disebut kanker hati primer dan yang berasal dari bagian tubuh yang lain disebut kanker metastatik. sebagian besar kanker hati merupakan kanker metastatik.

tumor hati yang jinak relatif sering ditemukan, tetapi biasanya tidak menimbulkan gejala-gejala. sebagian besar ditemukan pada saat penderita menjalani pemeriksaan skening (misalnya usg, ct atau mri), untuk alasan lainnya.

beberapa jenis tumor jinak ini menyebabkan hati jadi membesar atau mengalami perdarahan ke dalam rongga perut.

hati biasanya berfungsi secara normal, sehingga pemeriksaan darah memberikan hasil yang normal atau hanya terjadi peningkatan yang ringan dari kadar enzim-enzim hati.

yang merupakan tumor jinak hati:

adenoma hepatoseluler

hemangioma

yang merupakan tumor ganas hati:

hepatoma

kolangiokarsinoma

hepatoblastoma

angiosarkoma.

adenoma hepatoseluler

adenoma hepatoseluler adalah tumor jinak hati yang sering ditemukan. adenoma hepatoseluler terutama terjadi pada wanita usia produktif, kemungkinan karena penggunaan pil kb meningkatkan resiko terjadinya tumor ini.

adenoma hepatoseluler biasanya tidak menunjukkan gejala, sehingga sebgaian besar tidak dapat terdeteksi.meskipun jarang, adenoma ini bisa pecah tiba-tiba dan menyebabkan perdarahan ke rongga perut, sehingga perlu dilakukan pembedahan darurat. adenoma sangat jarang berkembang menjadi tumor yang ganas.

hemangioma

hemangioma adalah tumor jinak hati yang terbentuk dari massa pembuluh darah yang abnormal. sekitar 1-5% dewasa memiliki hemangioma hati yang kecil, yang tidak menimbulkan gejala-gejala.

pada bayi, hemangioma yang besar kadang menimbulkan gejala yang mengarah kepada ditemukannya penyakit ini, seperti pembekuan darah yang menyebar luas dan kegagalan hati. pada keadaan ini mungkin perlu dilakukan tindakan pembedahan.

tumor ini biasanya terdiagnosis hanya jika penderita menjalani pemeriksaan usg atau ct scan. hemangioma kecil yang tidak menyebabkan gejala, biasanya tidak membutuhkan pengobatan.

kanker hati primer lainnya

kolangiokarsinoma

merupakan kanker yang berasal dari lapisan saluran empedu di dalam hati atau di dalam saluran empedu.di negara timur, infestasi hati oleh parasit (cacing pipih/cacing pita), diduga berperan pada terjadinya kanker ini. pada penderita kolitis ulserativa dan kolangitis sklerotik menahun, kadang terjadi kolangiokarsinoma.

hepatoblastoma

hepatoblastoma merupakan kanker yang lebih sering ditemukan pada bayi.

kadang muncul pada anak-anak yang lebih besar dan bisa menghasilkan hormon gonadotropin yang akan menyebabkan terjadinya pubertas dini. hepatoblastoma biasanya terdeteksi karena menyebabkan menurunnya keadaan kesehatan secara umum dan menyebabkan terbentuknya massa yang besar di perut kanan bagian atas.

angiosarkoma

angiosarkoma adalah kanker yang jarang, yang berasal dari pembuluh darah di hati.

angiosarkoma bisa disebabkan oleh pemaparan vinil klorida di tempat kerja.

kolangiosarkoma, hepatoblastoma dan angiosarkoma bisa didiagnosis hanya dengan melakukan biopsi hati, dimana contoh jaringan hati diambil dengan sebuah jarum untuk diperiksa dibawah mikroskop.

biasanya, pengobatan hanya sedikit membantu dan sebagian besar penderita meninggal dalam beberapa bulan setelah tumor terdeteksi. jika dapat terdeteksi secara dini, hanya terapi pembedahan yang dapat memberikan harapan hidup yang lebih panjang