Jumat, 20 Juni 2008

IMMUNISASI PADA LANSIA

PENDAHULUAN
Lanjut usia (lansia) merupakan kelompok yang mempunyai risiko tinggi untuk mengalami penyakit berat dan kematian akibat infeksi influenza dan pneumokok 1,2.

Lebih dari 50 % pasien yang dirawat inap di rumah sakit dan 80-90 % dari angka kematian yang disebabkan influenza didapati pada kelompok usia di atas 65 tahun, sedangkan streptokok pneumonia (pneumokok) bertanggung jawab pada 25-35 % penyebab pneumonia dan merupakan penyebab paling sering dari acquired pneumonia 3,4.

Selain daripada itu, dampak yang diakibatkan oleh kedua penyakit diatas dapat berupa masa rawatan yang lebih lama, biaya rawatan yang lebih besar, komplikasi berat yang sering muncul serta menurunnya kualitas hidup pasien.

Untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh influenza dan pneumokok, advisory committee on immunization practices (ACIP) merekomendasikan imunisasi terhadap kedua penyakit tersebut. Oleh karena itu, di luar negeri seperti di Amerika Serikat, pada mereka yang berusia 65 tahun ke atas atau pada kelompok risiko tinggi untuk mendapat kedua penyakit di atas diharuskan mendapat imunisasi terhadap pneumokok dan influenza 5.

Di Indonesia imunisasi terhadap influenza dan pneumokok belum banyak dilakukan karena kurangnya informasi mengenai efektivitas imunisasi, belum adanya program imunisasi ditetapkan pemerintah terhadap lansia, biaya vaksin yang masih belum terjangkau oleh masyarakat serta belum adanya dukungan pembiayaan terhadap imunisasi oleh asuransi kesehatan.

Tujuan penulisan makalah ini adalah memberikan pengertian yang lebih baik bagi para profesi kesehatan tentang efektivitas imunisasi sehingga dapat mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan kedua penyakit tersebut di atas.

VAKSIN INFLUENZA
Jenisnya
Vaksin influenza ada 2 jenis, yaitu : 6
● Inactivated (killed) vaccine atau flu shot , yang diberikan secara injeksi.
● Vaksin yang telah dilemahkan, yang dilisensi pada tahun 2003, diberikan dengan
nasal spray
Yang digunakan adalah inactivated vaccine,, sehingga tidak dapat menyebabkan influenza dan penyakit saluran nafas yang lain. Virus influenza sering berubah-ubah, oleh karena itu vaksin influenza harus diperbaharui setiap tahun dan direkomendasikan untuk divaksinasi setiap tahun karena imunitas yang menurun6.
Vaksin ini dapat mencegah penyakit influenza yang berat pada sebahagian yang mendapat vaksinasi, akan tetapi tidak dapat mencegah penyakit-penyakit yang menyerupai influenza yang disebabkan oleh virus-virus lain. Vaksin ini mempunyai efek proteksi 2 minggu setelah vaksinasi dan proteksi ini dapat berlanjut selama 1 tahun 6

Indikasi.
Vaksinasi influenza direkomendasikan pada orang-orang yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat komplikasi influenza dan pada mereka yang dapat menyebarluaskan influenza 6.
Mereka yang mempunyai risiko tinggi tersebut adalah : 5,6,7
● Berusia di atas 65 tahun.
● Menderita penyakit kronik, seperti penyakit jantung, paru, asma, ginjal, metabolik
(misalnya diabetes melitus), anemia dan kelainan darah lain.
● Gangguan neuromuskuler yang dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan menelan.
● Gangguan sistem imun karena HIV/AIDS, memakai steroid jangka waktu lama, penyakit kanker yang mendapat penyinaran atau sitostatik, paska transplantasi organ.
Mereka yang dapat menyebarluaskan influenza adalah : para dokter, perawat, anggota keluarga atau setiap orang yang berkontak erat dengan mereka yang berisiko tinggi untuk mendapat influenza 6
Selain daripada itu, mereka yang akan mengadakan perjalanan ke daerah tropis dan daerah di belahan bumi bagian selatan 7.
Kontraindikasi
Vaksinasi influenza tidak diberikan pada : 1,7
● Adanya riwayat alergi terhadap telur ataupun bahan vaksin sebelum vaksinasi.
● Orang yang sedang mengalami demam.
● Adanya riwayat sindroma Guillain Barre dalam 6 minggu setelah vaksinasi.
Pemberiannya
Walaupun penyakit ini dapat terjadi setiap saat, akan tetapi waktu yang paling baik untuk vaksinasi influenza di negeri yang mempunyai 4 musim adalah pada bulan Oktober atau November, karena kejadian influenza mencapai puncaknya pada bulan Februari 6.
Pemberiannya pada otot deltoid secara intramuskuler dengan dosis 0,5 cc. Dapat diberikan bersama dengan vaksin pneumokok, akan tetapi dengan semprit injeksi yang berlainan dan pada lengan yang berlainan. Hal ini tidak akan mengurangi efek samping ataupun respons antibodi terhadap vaksin lain 2.
Efek Samping
Efek samping dari vaksinasi influenza dapat berupa : 6,7.
● Rasa nyeri ringan pada tempat penyuntikan.
● Reaksi alergi pada individu yang alergi terhadap telur ayam dan bahan vaksin.
Reaksi alergi berat sangat jarang dan jika terjadi hal ini berlangsung beberapa
menit sampai beberapa jam setelah penyuntikan.
● Sindroma Guillain Barre yang terjadi pada 1 atau 2 kasus per 1000.000 orang.

VAKSIN PNEUMOKOK
Jenisnya
Vaksin yang tersedia efektif terhadap 23 jenis antigen polisakharida yang telah dimurnikan, yang merupakan 85-90 % dari semua serotipe streptokok pneumonia yang menyebabkan infeksi pneumokok invasif. Kebanyakan orang dewasa yang sehat akan mempunyai proteksi terhadap sebahagian besar atau semua tipe pneumokok dalam 2-3 minggu setelah vaksinasi. Pada lansia atau orang yang berpenyakit kronik tidak dapat memberikan respons secara efisien. Vaksin efektif mencegah penyakit sebesar 57-75 % 4,7.
Indikasi
Menurut ACIP dari Pusat Pengawasan dan Pencegahan Penyakit bahwa vaksin pneumokok direkomendasikan pada : 4,7
● Semua yang berusia 65 tahun ke atas.
● Mereka yang mempunyai risiko tinggi mendapat gangguan kesehatan seperti pasien penyakit jantung, paru, ginjal, hati, diabetes melitus, dan menurunnya sistem imun.
● Semua orang yang tinggal dan staf di fasilitas perawatan jangka panjang (panti jompo).
Kontraindikasi
Vaksinasi pneumokok tidak diberikan pada : 4
● Alergi terhadap vaksin pneumokok.
● Orang yang sedang menderita demam.


Pemberiannya
Pemberiannya dengan dosis 0,5 cc pada otot deltoid secara intramuskuler pada usia 65 tahun dengan revaksinasi setelah 5 tahun 2,4.
Efek samping
Efek samping dari vaksin pneumokok dapat berupa : 4,7
● nyeri ringan dan inflamasi pada tempat penyuntikan yang berlangsung kurang dari 48 jam dan terjadi pada ⅓-½ kasus.
● demam, menggigil dan malaise selama 1-2 hari.yang terjadi pada kurang dari 1 % kasus.
● Reaksi alergi yang berat meskipun jarang (1 dari 10.000 orang), dengan gejala sesak nafas, suara serak, pucat, lemah, pusing, takhikardia, mengi, gatal dan bintik-bintik merah, syok, yang terjadi beberapa menit sampai beberapa jam setelah vaksinasi.

KESIMPULAN
1. Lansia merupakan kelompok yang mempunyai risiko tinggi untuk mendapat penyakit berat dan kematian akibat infeksi influenza dan pneumokok.
2. Untuk mengurangi angka morbiditas dan mortalitas yang disebabkan oleh influenza dan pneumokok, perlu dilakukan imunisasi terhadap kedua penyakit tersebut.
3. Imunisasi terhadap influenza dan pneumokok hanya dapat memberikan proteksi selama beberapa waktu pada yang mendapatkannya, sehingga perlu dilakukan revaksinasi setiap tahun untuk influenza dan setiap 5 tahun untuk pneumokok.
4. Vaksinasi terhadap influenza dapat diberikan bersamaan dengan vaksinasi
terhadap pneumokok pada otot deltoid, akan tetapi diberikan pada lengan yang berbeda
5. Baik vaksin terhadap penyakit influenza maupun pneumokok mempunyai efek samping berupa nyeri pada tempat penyuntikan, demam, menggigil, malaise, reaksi alergi. Meskipun sangat jarang terjadi, dilaporkan terjadi sindroma Guillain Barre setelah vaksinasi influenza.


KEPUSTAKAAN
1. McKinney WP, Barnas GP. Influenza immunization in the Elderly : Knowledge and Attitudes do not explain physician behavior. American Journal of Public Health. Vol 79 (10) : 1422-4. 1989.
2. Kennedy RD, Cullamar K. Immunizations for Older Adults. Try this. No.21. The Hartford institute for Geriatric Nursing. Newyork university College of Nursing. 2007.
3. Warner L. Infectious Disease in A LANGE clinical manual Geriatrics Ed. Lonergan ET. First Edition (international edition). Prentice-Hall International Inc.: 123-4, 31-2. 1996.
4. QINC. Pneumococcal Disease and Immunization in the Elderly. 2001.
5. Gershon AA, Gardner P, Peter G, Nichols K, Orenstein W. Guidelines from the Infectious Diseases Society of America. Clinical Infectious Diseases. Vol 25.782- 5: 1997.
6. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) Department of Health and Human Services. Inactivated Influenza Vaccine. What you need to know.National Center for Immunization and Respiratory Diseases. 2006-2007.
7. American Diabetic Association. Influenza and Pneumococcal Immunization in Diabetes. Diabetes Care. Vol 27 : 5111-2.2004.

Sabtu, 14 Juni 2008

SPONDILITIS TUBERKULOSIS

I. PENDAHULUAN

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan bahwa 1,9 milyar manusia, sepertiganya penduduk dunia ini, telah terinfeksi kuman Micobacterium tuberculosis. Angka infeksi tertinggi di Asia Tenggara, Cina, India, Afrika, dan Amerika Latin. Tuberkulosis terutama menonjol di populasi yang mengalami stres, nutrisi jelek, penuh sesak, perwatan kesehatan yang tidak cukup, dan perpindahan tempat.

Pada orang dewasa, dua pertiga kasus terjadi pada orang laki-laki, tetapi ada sedikit dominasi tuberkulosis pada wanita di masa anak. Frekuensi tuberkulosis terjadi pada orang tua populasi kulit putih di Amerika Serikat. Sebaliknya, pada populasi kulit berwarna tuberkulosis paling sering pada orang dewasa muda dan anak-anak umur kurang dari lima tahun. Kisaran umur 5-14 tahun sering disebut “umur kesayangan” karena pada semua populasi manusia kelompok ini mempunyai frekuensi penyakit tuberkulosis yang terendah.

Di Amerika Serikat, seperlima dari kasus baru tuberkulosis dihubungkan dengan penyakit ekstrapulmoner. Tuberkulosis telah dilaporkan terdapat pada seluruh tulang di tubuh. Di Amerika, penyakit ini melibatkan tulang vertebra pada 50 % pasien (vertebra torakal pada 50 %, vertebra servikal 25 %, dan vertebra lumbal 25 %), pelvis pada 12 % pasien, panggul dan paha pada 10 %, lutut dan tungkai bawah 10 %, tulang iga 7 %, pergelangan kaki 2 %, siku 2 %, dan tempat lain 3 %.

Tuberkulosis ekstrapulmoner lebih sering terjadi pada anak-anak dibandingkan dengan orang dewasa yaitu sekitar sepertiga dari anak-anak dengan tuberkulosis punya manifestasi ekstrapulmoner.

Spinal tuberkulosis telah dikenal sejak zaman kuno di Egyp & Peru dan penyakit ini merupakan salah satu penyakit tertua pada manusia yang pernah ditemukan. Percival Pott mempresentasikan tentang spinal tuberkulosis pada tahun 1779. dan sejak adanya obat antituberkulosis dan meningkatnya derajat kesehatan masyarakat, spinal tuberkulosis menjadi jarang dijumpai. Spinal tuberkulosis dapat menyebabkan morbiditas yang serius, termasuk defisit neurologis yang permanen deformitas berat. Pengobatan medis atau kombinasi medis dan pembedahan dapat mengontrol penyakit ini pada banyak pasien.

II. DEFINISI

Spondilitis Tuberkulosa ialah suatu bentuk infeksi tuberkulosis ekstrapulmoner yang mengenai tulang belakang (vertebra). Infeksi mulai dari korpus vertebra, menjalar ke diskus intervertebralis dan kemudian mencapai alat-alat dan jaringan di dekatnya.

Walaupun Spondilitis Tuberkulosa dapat berkembang di tiap korpus vertebra, namun menurut statistik lokalisasi di vertebra torakal adalah paling umum (35 %). Lokalisasi di tingkat lumbal terdapat pada 31 % penderita. Dan di tingkat torakolumbal (T12- L1) adalah sebesar 23 %.

III. PATOGENESIS

Spondilitis tuberkulosa merupakan kelanjutan dari penyebaran kuman tuberkulosa yang sudah bermukim di tubuh, misalnya di paru atau kelenjar getah bening. Penyebaran itu berlangsung melalui aliran darah arteri vertebralis. Kuman tuberkulosa pertama bersarang di korpus vertebra. Sarang itu terletak dekat lapisan epifisial atas atau bawah. Erosi yang terjadi akibat perkembangan sarang tuberkulosa itu merusak korpus vertebra dan menjebolkan diskus intervertebralis ke dalam kanalis vertebralis. Konsekuensinya ialah deformitas tulang belakang setempat sehingga timbul gibusdan timbulnya penekanan pada medula spinalis akibat proses tuberkulosa itu berada di salah satu korpus vertebra. Bila ligamentum longitudenal posterior saja yang terkena maka proses itu dapat berkembang di bagian itu saja tanpa merusak tulang belakang. Dalam hal itu foto rontgen memperlihatkan tulang belakang yang normal, tapi pasien bisa berada dalam keadaan paraplegi akibat penekanan terhadap medula spinalis.

Gibus tidak selamanya disertai penjebolan diskus intervertebralis, sehingga tidak timbul kompresi medula spinalis. Gibus itu disebut gibus yang terkompensasi. Bila yang rusak hanya sebuah korpus vertebra saja, lengkungan yang terjadi runcing bentuknya. Gibus yang runcing ini disebut gibus angularis. Bila yang mengalami kerusakan lebih dari satu vertebra, gibus yang terjadi berbentuk seperti busur dan dinamakan gibus arkuatus.

Sebagai proses kelanjutan dapat berkembang abses yang pada mulanya merupakan tempat hancurnya jaringan yang terkena proses tuberkulosa. Semain hancur maka terjadilah abses yang pada permulaan menjebol ke anterior dan ke samping korpus vertebra. Kemudian dapat terjadi perluasan ke bawah atau menjebol ke posterior di sela subdural. Penjebolan ke belakang di sela subdural inilah yang mengakibatkan paraplegi.

Abses paravertebral itu bisa menurun dan tiba di tepat origo otot psoas, lalu berkembang di dalam sarung otot tersebut dan akhirnya tiba di bawah ligamentum Poupart. Pada tempat ini ia dapat salah didiagnosa sebagai hernia. Ia pun dapat menurun sampai ke pelvis dan menjebol di daerah gluteus dan menurun ke bagian lateral paha. Di sini ia dapat salah didiagnosa sebagai lipoma.

IV. MANIFESTASI KLINIS

Tuberkulosis pada tulang belakang tidak tampak pada tahun pertama kehidupan. Mulai timbul setelah anak belajar berjalan dan melompat. Kemudian terjadi pada semua umur.

· Keluhan yang paling dini berupa rasa pegal di punggung yang belum jelas lokalisasinya. Kemudian terasa nyeri sejenak kalau badan digerakkan atau tergerak, yang tidak lama berikutnya akan jelas lokalisasinya karena nyerinya lebih mudah timbul dan lebih keras intensitasnya. Pada tahap yang agak lanjut nyeri di punggung itu ditambah dengan nyeri interkostal yang bersifat radikular. Nyeri itu terasa bertolak dari ruas tulang belakang dan menjalar sejajar dengan iga ke dada dan berhenti tepat di garis tengah dada. Untuk mengurangi keadaan ini anak menarik punggungnya kuat-kuat. Anak menghindari penekukan tubuh waktu mengambil sesuatu di lantai. Jika terpaksa dia hanya menekukkan lututnya untuk menjaga punggungnya tetap lurus. Rasa nyeri akan membaik bila dia beristirahat.

· Tanda-tanda pada tingkatan yang berbeda :

Ø Pada leher, jika mengenai vertebra servikal penderita tidak suka memutar kepalanya dan duduk dengan meletakkan dagu di tangannya. Dia akan merasa nyeri pada leher atau pundaknya. Jika terjadi abses, pembengkakan dengan fluktuasi yang ringan akan tampak pada sisi yang sama pada leher di belakang otot sternomastoid atau tonjolan pada bagian belakang mulut (faring).

Ø Pada punggung bawah sampai iga terakhir (regio toraks). Dengan adanya penyakit pada regio ini, penderita memiliki punggung yang besar. Dalam gerakan memutar dia lebih sering menggerakkan kakinya daripada mengayunkan pinggulnya. Saat memungut sesuatu dari lantai dia menekuk lututnya sementara punggungnya tetap lurus. Kemudian akan terdapat pembengkakan atau lekukan yang nyata pada tulang belakang (gibus) diperlihatkan dengan korpus vertebra yang terlipat.

Ø Jika abses ini menjalar menuju dada bagian kanan dan kiri serta akan muncul sebagai pembengkakan yang lunak pada dinding dada (abses dingin yang sama dapat menyebabkan tuberkulosis kelenjar getah bening interkosta). Jika menuju ke punggung dapat menekan serabut saraf spinal yang menyebabkan paralisis.

Ø Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal), di mana juga berada di bawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar pada otot sebagaimana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan tampak sebagai pembengkakan lunak di atas atau di bawah ligamentum pada lipat paha atau di bawahnya tetap pada sisi dalam dari paha (abses psoas). Pada keadaan yang jarang pus dapat berjalan menuju pelvis dan mencapai permukaan belakang sendi panggul.

(Pada negara-negara dengan prevalensi tinggi 1 dari 4 penderita dengan tuberkulosis tulang belakang mempunyai abses yang dapat diraba.)

Ø Pada pasien-pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam (kadang-kadang demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan nafsu makan. Di beberapa negara Afrika juga didapati pembesaran kelenjar getah bening, tuberkel subkutan, pembesaran hati dan limpa.

Ø Pada penyakit-penyakit yang lanjut mungkin tidak hanya terdapat gibus (angulasi dari tulang belakang), juga terdapat kelemahan dari anggota badan bawah dan paralisis (paraplegi) akibat tekanan pada serabut saraf spinal atau pembuluh darah.

V. PEMERIKSAAN

A. Pemeriksaan fisis

Tujuan pemeriksaan fisis :

- Untuk menemukan tanda-tanda spinal tuberkulosis

- Untuk melokalisasi lesi yang ada

- Untuk menemukan komplikasinya seperti abses dingin atau paraplegi

Pemeriksaan fisis yang sistematis pada kasus sangkaan spinal tuberkulosis :

v Gaya berjalan. Pasien dengan spinal tuberkulosis berjalan dengan langkah-langkah pendek untuk menghindari sentakan pada tulang belakang.

v Sikap tubuh dan deformitas. Pasien dengan tuberkulosis servikal memiliki leher yang kaku, pasien dengan tuberkulosis spinal dorsalis, terdapat gibus.

v Paravertebral bengkak, kemerahan dapat ditemukan pada abses dingin yang superfisial.

Pemeriksaan neurologis perlu dilakukan pada daerah diatas dan di bawah lesi, juga pemeriksaan fungsi motorik, sensorik, dan refleks diperlukan untuk menilai fungsi kemih dan defekasi.

Tujuan pemeriksaan neurologis adalah untuk menemukan ada tidaknya kompresi neurologis, tingkat kompresi neurologi, dan tingkat keparahan kompresi neurologis.

B. Pemeriksaan penunjang

v Pemeriksaan laboratorium :

o Tuberkulin skin test menunjukkan hasil yang positif pada 84-95% pasien dengan HIV negatif.

o Laju endap darah dapat meningkat lebih dari 100 mm/jam

o Pemeriksaan mikrobiologi BTA, kultur dan test sensitivitas

v Pemeriksaan radiologi :

· Foto polos dapat menunjukkan gambaran khas tuberkulosis spinal :

o Destruksi lisis dari bagian anterior vertebra

o Penyempitan diskus intervertebralis bagian anterior

o Korpus vertebra hancur

o Tampak sklerosis pada proses lisis yang progresif

o Osteoporosis pada lapisan bawah vertebra

o Pembesaran bayangan psoas dengan atau tanpa kalsifikasi

o Diskus interventrebral menyusup atau hancur

· CT-scan dapat memberi gambaran lebih baik dari tulang dengan lesi lisis irreguler, sklerosis, kolaps diskus, dapat memberi gambaran jaringan lunak yang lebih baik, terutama daerah epidural dan paraspinl. Dapat mendeteksi lesi yang dini dan lebih efektif mendefenisikan bentuk dan kalsifikasi dari abses.

· MRI merupakan kriteria standar untuk mengevaluasi infeksi pada rongga diskus dan osteomielitis dari spinal dan paling efektif untuk menunjukkan perluasan penyakit ini ke jaringan lunak dan penjalaran debris tuberkulosa ke ligamen longitudinal anterior dan posterior. MRI paling efektif untuk melihat kompresi neural.

v Biopsi jarum juga membantu kasus yang sulit tetapi memerlukan pengalaman dan ilmu jaringan yang baik.

VI. KOMPLIKASI

Komplikasi timbul sebagai manifestasi dari kompresi medula spinalis, yang berupa refleks tendon yang meninggi dan refleks Babinski yang positif, sekalipun penderitanya belum mengeluh bahwa kedua tungkainya agak lemah (paraparese ringan) atau mengeluh bahwa gaya berjalannya kurang mantap.

VII. DIAGNOSA BANDING

1. Traumatik

2. Myeloma

3. Diskus prolaps

4. Ankylosing spondilitis

5. Tumor spinal

VIII. PENATALAKSANAAN

Sebelum ditemukannya pengobatan antituberkulosa, spondilitis tuberkulosis diterapi dengan immobilisasi pada tirah baring yang lama. Frekuensi mortalitasnya ± 20 %, dan kekambuhan ± 30 %. Gabungan pengobatan dan pembedahan pada pasien sudah dikembangkan.

British Medical Research Council menyatakan bahwa spondilitis tuberkulosa harus diterapi dengan regimen pengobatan kombinasi tiga obat anti tuberkulosa selama 6-9 bulan. Pada daerah dengan resisten INH, digunakan regimen empat obat. Regimen tiga obat tersebut adalah INH, Rifampicin dan Pirazinamide.

Lamanya pengobatan masih kontroversial. Walaupun penelitian menganjurkan selama 6-9 bulan, tetapi yang masih lazim dipakai sekarang adalah pengobatan selama 9-12 bulan. Jadi lamanya pengobatan bersifat individual dan tergantung kepada penyembuhan dari gejala aktif dan stabilitas gejala klinis dari pasien.

Indikasi pembedahan pada spondilitis tuberkulosis adalah :

1. Adanya defisit neurologis (kemunduran neurologis akut, paraparese, paraplegi)

2. Deformitas spinal yang tidak stabil

3. Tidak respons dengan terapi medis

IX. PROGNOSA

· Tingkat efektifitas terapi tinggi jika tidak terdapat komplikasi deformitas berat dan defisit neurologis.

· Paraplegi yang dihasilkan dari kompresi medula spinalis biasanya punya respons yang baik terhadap pengobatan antituberkulosa.

· Jika terapi medis tidak berhasil, operasi dekompresi akan meningkatkan angka kesembuhan.

· Paraplegi dapat muncul dan menetap pada kerusakan medula spinalis yang permanen.

Liver Abses ( abses hati )

A. PENDAHULUAN (2)

Insiden dan jenis penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari system gastrointestinal sangat bervariasi dari satu negara ke negara lainnya. Infeksi ini dapat disebabkan oleh bakteri, parasit atau jamur.

Selama kurun waktu satu abad terakhir ini, telah banyak perubahan dalam hal epidemiologi, etiologi, bakteriologi, cara diagnostik, pengelolaan maupun prognosis abses hati.

Di negara-negara yang sedang berkembang, abses hati amoebik didapatkan secara endemic dan jauh lebih sering disbanding abses hati piogenik. Dalam makalah ini akan dibicarakan abses hati amoebik yaitu penyakit infeksi pada hati yang bersumber dari system gastrointestinal yang sering terjadi.

B. DEFINISI (1)

Amoebiasis hati masih merupakan masalah kesehatan dan social di daerah seperti Asia Tenggara, Afrika dan Amerika Latin. Terutama di daerah yang banyak didapatkan strain virulen Entamoeba histolytica yang tinggi dan dimana keadaan sanitasi buruk, status sosio-ekonomi rendah serta status gizi yang kurang baik.

C. EPIDEMIOLOGI (1)

Hampir 10% penduduk dunia terutama di negara berkembang terinfeksi E. histolytica, tetapi hanya sepersepuluh yang memperlihatkan gejala. Insiden amoebiasis hati di RS di Indonesia berkisar antara 5-15 pasien pertahun.

Penelitian epidemiologi diIndonesia menunjukkan perbandingan pria : wanita berkisar 3:1 sampai 22:1, yang tersering pada decade IV. Penularan pada umumnya melaluijalur oral-fekal dan dapat juga oral-anal-fekal. Kebanyakan amoebiasis hati yang dikenai adalah pria. Usia yang dikenai berkisar antara 20-50 tahun terutama dewasa muda dan lebih jarang pada anak.
D. ETIOLOGI (1,2)

Didapatkan beberapa spesies amoeba yang dapat hidup sebagai parasit non-patogen dalam mulut dan usus, tetapi hanya E. histolytica yang dapat menyebabkan penyakit.

Hanya sebagian kecil individu yang terinfeksi E. histolytica yang memberi gejala invasive, sehingga diduga ada 2 jenis E. histolytica yaitu strain patogen dan non-patogen. Bervariasinya virulensi strain ini berbeda bedasarkan kemampuannya menimbulkan lesi pada hati.
E.histolytica didalam feses dapat ditemukan dalam 2 bentukyaitu bentuk vegetatif atau tropozoit dan bentuk kista yang bisa bertahan hidup diluar tubuh manusia.

Kista dewasa berukuran 10-20 mikron, resisten tehadap suasana kering dan asam. Bentuk tropozoit akan mati dalam suasana kering atau asam. Tropozoit besar sangat aktif bergerak, mampu memangsa eritrosit, mengandung protease yaitu hialuronidase dan mukopolisakaridase yang mampu mengakibatkan dekstruksi jaringan.

E. PATOGENESIS (1,2)

Patogenesis amoebiasis hati belum dapat diketahui secara pasti. Cara penularan pada umumnya fekal-oral baik melalui makanan atau minuman yang tercemar kista atau transmisi langsung pada keadaan hygiene perorangan yang buruk.

Ada beberapa mekanisme yang telah dikemukakan antara lain : faktor virulensi parasit yang menghasilkan toksin, ketidakseimbangan nutrisi, faktor resistensi parasit, imunodepresi pejamu, berubah-ubahnya antigen permukaan dan penurunan imunitas cell-mediated.

Secara singkat dapat dikemukakan 2 mekanisme :

1. Strain E. histolytica ada yang patogen dan non-patogen

2.Secara genetic E. histolytica dapat menyebabkan invasi tetapi tergantung pada interaksi yang kompleks antara parasit dengan lingkungan saluran cerna terutama kepada flora bakteri.

Mekanisme terjadinya amoebiasis hati :

1. penempelan E. histolytica pada mukosa usus.

2. pengrusakan sawar intestinal

3. lisis sel epitelintestinal serta sel radang. Terjadinya supresi respons imun cell-mediated yang disebabkan enzim atau toksin parasit, juga dapat karena penyakit tuberculosis, malnutrisi, keganasan, dll.

4. penyebarab amoeba ke hati. Penyebaran amoeba dari usus ke hati sebagian besar melalui v.porta. terjadi proses akumulasio neutrofil periportal yang disertai nekrosis dan infiltrasi granulomatosa. Lesi membesar, bersatu dan granuloma diganti dengan jaringan nekrotik. Bagian nekrotik ini dikelilingi kapsul tipis seperti jaringan fibrosa. Amoebiasis hati ini dapat terjadi bebulan atau tahun setelah terjadinya amoebiasis intestinal dan sekitar 50% amoebiasis hati terjadi tanpa didahului riwayat disentri amoebiasis.

F. PATOLOGI (1,2)

Abses hati amoebik biasanya terletak di lobus superoanterior. Besarnya abses bervariasi dari beberapa cm sampai abses besar sekali yang mengandung beberapa liter pus. Abses dapat tunggal (soliter) ataupun ganda (multiple). Walaupun amoeba berasal dari usus, kebanyakan kasus abses hati amoebik tidak menunjukkan adanya amoebiasis usus pada saat yang bersamaan, jadi ada infeksi usus lama bertahun-tahun sebelum infeksi menyebar ke hati.

Sejak awal penyakit, lesi amoeba didalam hepar tidak pernah difus melainkan merupakan proses local. Proses hepatolitik tetap asimtomatik dan gejala-gejala akan muncul jikan daerahini meluas membentuk suatu abses yang lebih besar. Lesi kecil akan sembuh dengan pembentukan jaringan parut, sedangkan pada dinding abses besar akan ditemukan fibrosis. Jarang terjadi kalsifikasi, dan amoebiasis tidak pernah menjadi sirosis hati.
G. GAMBARAN KLINIS (1,2,3)
Riwayat penyakit

Cara timbulnya abses hati amoebik biasanya tidak akut, menyusup yaitu terjadi dalam waktu lebih dari 3 minggu. Demam ditemukan hampir pada seluruh kasus. Terdapat rasa sakit diperut atas yang sifat sakit berupa perasaan ditekan atau ditusuk. Rasa sakit akan bertambah bila penderita berubah posisi atau batuk. Penderita merasa lebih enak bila berbaring sebelah kiri untuk mengurangi rasa sakit. Selain itu dapat pula terjadi sakit dada kanan bawah atau sakit bahu bila abses terletak dekat diafragma dan sakit di epigastrium bila absesnya dilobus kiri.

Anoreksia, mual dan muntah, perasaan lemah badan dan penurunan berat badan merupakan keluhan yang biasa didapatkan. Batuk-batuk dan gejala iritasi diafragma juga bisa dijumpai walaupun tidak ada ruptur abses melalui diafragma. Riwayat penyakit dahulu disentri jarang ditemukan. Ikterus tak biasa ada dan jika ada ia ringan. Nyeri pada area hati bisa dimulai sebagai pegal, kemudian mnjadi tajam menusuk. Alcohol membuat nyeri memburuk dan juga perubahan sikap.

Pembengkakan bisa terlihat dalam epigastrium atau penonjolan sela iga. Nyeri tekan hati benar-benar menetap. Limpa tidak membesar.
Gambaran klinik tidak klasik dapat berupa : (2)

1. benjolan didalam perut, seperti bukan kelainan hati misalnya diduga empiema kandung empedu atau tumor pancreas.

2. gejala renal. Adanya keluhan nyeri pinggang kanan dan ditemukan

massa

yang diduga ginjal kanan. Hal ini disebabkan letak abses dibagian posteroinferior lobus kanan hati.

3. ikterus obstruktif. Didapatkan pada 0,7% kasus, disebabkan abses terletak didekat porta hepatis.

4. colitis akut. Manifestasi klinik colitis akut sangat menonjol, menutupi gambaran klasik absesnya sendiri.

5. gejala kardiak. Ruptur abses ke rongga pericardium memberikan gambaran klinik efusi pericardial.

6. gejala pleuropulmonal. Penyulit yang terjadi berupa abses paru menutupi gambaran klasik abses hatinya.

7. abdomen akut. Didapatkan bila abses hati mengalami perforasi ke dalam rongga peritoneum, terjadi distensi perut yang nyeri disertai bising usus yang berkurang.

8. gambaran abses yang tersembunyi. Terdapat hepatomegali yang tidak jelas nyeri, ditemukan pada 1,5 %.

9. demam yang tidak diketahui penyebabnya. Secara klinik sering dikacaukan dengan tifus abdominalis atau malaria.

H. KELAINAN LABORATORIUM DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG (1,2)
1. Laboratorium

Kelainan pemeriksaan hematology pada amoebiasis hati didapatkan Hb antara 10,4-11,3 g%, sedangkan leukosit berkisar antara 15.000-16.000/mm3.

Pada pemeriksaan faal hati didapatkan albumin 2,76-3,05 g%, globulin 3,62-3,75 g%, total bilirubin 0,9-2,44 mg%, fosfatase alkali 270,4-382,0 u/l sedangkan SGOT 27,8-55,9 u/l dan SGPT 15,7-63,0 u/l.

Jadi kelainan laboratorium yang dapat ditemukan pada amoebiasis hati adalah anemia ringan sampai sedang, leukositosis. Sedangkan kelainan faal hati didapatkan ringan sampai sedang.

2. Pemeriksaan penunjang

a. Foto dada

kelainan foto dada pada amoebiasis hati dapat berupa : peninggian kubah diafragma kanan, berkurangnya gerak diafragma, efusi pleura, kolaps paru dan abses paru.

b. Foto polos abdomen

kelainan yang didapat tidak begitu banyak, mungkin dapat berupa gambaran ileus , hepatomegali atau gambaran udara bebas di atas hati jarang didapatkan berupa air fluid level yang jelas.

c. Ultrasonografi

untuk mendeteksi amoebiasis hati, USG sama efektifnya dengan CT atau MRI. Gambaran USG pada amoebiasis hati adalah :

1. bentuk bulat atau oval

2. tidak ada gema dinding yang berarti

3. ekogenisitas lebih rendah dari parenkim hati normal

4. bersentuhan dengan kapsul hati

5. peninggian sonic distal

d. tomografi komputer

sensitivitas tomografi komputer berkisar 95-100% dan lebih baik untuk melihat kelainan di daerah posterior dan superior.

e. Pemeriksaan serologi

ada beberapa uji yang banyak digunakan antara lain indirect haemaglutination (IHA) , counter immunoelectrophoresis (CIE), dan ELISA. Yang banyak dilakukan adalah tes IHA. Tes IHA menunjukkan sensitivitas yang tinggi. Titer 1:128 bermakna untuk diagnosis amoebiasis invasive.

I. DIAGNOSIS (1)

Untuk diagnosis amoebiasis hati dapat digunakan criteria Sherlock (1969), criteria Ramachandran (1973) atau criteria Lamont dan Pooler.

Criteria Sherlock :

1. hepatomegali yang nyeri tekan

2. respon baik terhadap obat amoebisid

3. leukositosis

4. peninggian diafragma kanan dan pergerakan yang kurang

5. aspirasi pus

6. pada USG didapatkan rongga dalam hati

7. tes hemaglutinasi positif

Kriteria Ramachandran (bila didapatkan 3 atau lebih dari) :

1. hepatomegali yang nyeri

2. riwayat disentri

3. leukositosis

4. kelainan radiologis

5. respon terhadap terapi amoebisid

Kriteria Lamont dan Pooler (bila didapatkan 3 atau lebih dari ) :

1. hepatomegali yang nyeri

2. kelainan hematologis

3. kelainan radiologis

4. pus amoebik

5. tes serologic positif

6. kelainan sidikan hati

7. respon yang baik dengan terapi amoebisid

J. KOMPLIKASI (2)

1. Infeksi sekunder ; merupakan komplikasi paling sering, terjadi pada 10-20% kasus.

2. Ruptur atau penjalaran langsung ; rongga atau organ yang terkena tergantung pada letak abses. Perforasi paling sering ke pleuropulmonal, kemudian kerongga intraperitoneum, selanjutnya pericardium dan organ-organ lain.

3. Komplikasi vaskuler ; ruptur kedalam v. porta, saluran empedu atau traktus gastrointestinal jarang terjadi.

4. Parasitemia, amoebiasis serebral ; E. histolytica bisa masuk aliran darah sistemik dan menyangkut di organ lain misalnya otak yang akan memberikan gambaran klinik dari lesi fokal intrakranial.

K. PENGOBATAN DAN TINDAKAN (1,2)

1. Medikamentosa

Derivat nitroimidazole dapat memberantas tropozoit intestinal/ekstraintestinal atau kista. Obat ini dapat diberikan secara oral atau intravena.

Secara singkat pengobatan amoebiasis hati sebagai berikut :

1. Metronidazole : 3x750 mg selama 5-10 hari dan ditambah dengan ;

2. Kloroquin fosfat : 1 g/hr selama 2 hari dan diikuti 500/hr selama 20 hari, ditambah;

3. Dehydroemetine : 1-1,5 mg/kg BB/hari intramuskular (maksimum 99 mg/hr) selama 10 hari.

2. Tindakan aspirasi terapeutik

Indikasi :

1. abses yang dikhawatirkan akan pecah

2. respon terhadap medikamentosa setelah 5 hari tidak ada.

3. abses di lobus kiri karena abses disini mudah pecah ke rongga perikerdium atau peritoneum.

3. Tindakan pembedahan

Pembedahan dilakukan bila :

1. abses disertai komplikasi infeksi sekunder.

2. abses yang jelas menonjol ke dinding abdomen atau ruang interkostal.

3. bila teraoi medikamentosa dan aspirasi tidak berhasil.

4. ruptur abses ke dalam rongga intra peritoneal/pleural/pericardial.

Tindakan bisa berupa drainase baik tertutup maupun terbuka, atau tindakan reseksi misalnya lobektomi.

L. PROGNOSIS (1,2)

Faktor yang mempengaruhi prognosis :

1. virulensi parasit

2. status imunitas dan keadaan nutrisi penderita

3. usia penderita, lebih buruk pada usia tua

4. cara timbulnya penyakit, tipe akut mempunyai prognosa lebih buruk

5. letak dan jumlah abses, prognosis lebih buruk bila abses di lobus kiri atau multiple.

Sejak digunakan pemberian obat seperti emetine, metronidazole, dan kloroquin, mortalitas menurun secara tajam. Sebab kematian biasanya karena sepsis atau sindrom hepatorenal.

DAFTAR PUSTAKA

1. Julius : Abses Hati Amoebik ; dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Soeparman, dkk (editor), jilid I edisi pertama, Balai Penerbit FKUI,Jakarta, 2001, hal 328-332.

2. S.A. Abdurachman, Abses Hati Amobik, dalam buku Gastroenterohepatologi, H. Aziz, jilid 3, Balai Pustaka, Jakarta, 1995, hal 395-402.

3. Elizondo G, Weissleder R, Stark DD et al, Amoebic Liver Abcess : Diagnosis and Treatment Evaluation with MRI imaging, Radiology, 1987. Hal 563-568

KEHAMILAN DENGAN INFEKSI HIV



PENDAHULUAN
HIV (Human Immunodefisiensiensi Virus) adalah virus golongan retrovirus yang dapat bertahan dalam sel hidup dari organisme lain. Virus (HIV) ditemukan dan dapat diisolasi pada tahun 1983, sebagai penyebab terjadinya Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS), Virus ini akan menyamarkan dirinya ke dalam material genetik sel yang disebut CD4 sel darah putih yang merupakan bagian dari sistem imun. Proses ini disebut reverse transcription, dan memungkinkan virus ini untuk bereplikasi. Hal ini memicu untuk rusaknya CD4 sel dan menghancurkan sistem imun.

DEFINISI
HIV (Human Immunodefisiensiensi Virus) adalah virus golongan retrovirus yang dapat bertahan dalam sel hidup dari organisme lain.Sindrom Immunodefisiensi yang didapat (AIDS=Acquired immunodeficuency syndrome) adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh retrovirus yang dikenal dengan nama Human T-cell lympotropic virus (HIV).

EPIDEMIOLOGI
Indonesia telah memasuki epidemi gelombang kelima dengan tanda munculnya infeksi HIV pada ibu rumah tangga. Tahun 1998 tercatat ada sekitar 764 kasus, tetapi kasus ini masih diragukan karena tidak ada orang yang bersedia secara sukarela untuk melakukan pemeriksaan terhadap dirinya. Penyakit HIV merupakan penyakit yang diibaratkan gunung es, dimana pangkalnya jauh lebih besar dari ujungnya yang tampak pada permukaan.
Setiap tahun lahir sekurangnya 7000 bayi dari ibu yang terinfeksi oleh HIV. Risiko penularan vertikal desertai oleh penyakit tingkat lanjut, hitung limfosit CD4 (T4) rendah, dan beban virus meningkat. Risiko penularan 8-30%.
Menurut WHO sekitar 10 juta bayi lahir hidup di seluruh dunia terinfeksi dengan virus HIV dimana 600.000 bayi terinfeksi dengan transmisi perinatal.

PERJALANAN PENYAKIT
Infeksi virus HIV akan menghancurkan CD4 T Lymposit yang mempunyai tugas utama untuk mempertahankan dan menurunkan sifat imun. Virus HIV dapat bergandengan dengan permukaan glikoprotein CD4 sel sehingga selanjutnya masuk ke dalam sel dan menghancurkannya. Sasaran berikutnya dari virus HIV adalah makrofag dan sistem saraf pusat.
Lymposit tepi hanya terinfeksi sekitar 2-3%, selebihnya adalah organ lymposit yang membentuk koloni dan menyebabkan hilangnya memori CD4 T sel sehingga dapat menghilangkan kemampuan imunologis. Perjalanan lebih lanjut adalah terjadinya destruksi berkelanjutan sehingga kemampuan pertahanan tubuh dalam bentuk reaksi imunologis gagal total yang ditandai dengan menurunnya jumlah sel CD4 dan T sel. Sekitar 18 bulan sebelum terjadinya AIDS, reaksi tubuh adalah hancur dan turunnya T sel darah tepi sehingga seluruh pertahanan tubuh mengalami kemunduran.

PENULARAN INFEKSI HIV DARI IBU KE BAYI
Cara penularan HIV dari ibu ke bayi belum diketahui secara pasti. Namun kebanyakan penularan terjadi saat persalinan(waktu bayi dilahirkan). Selain itu bayi juga dapat tertular waktu disusui. Hal ini ditunjukkan dalam gambar berikut
Ada beberapa faktor resiko yang meningkatkan kemungkinan penularan akan terjadi. Yang paling mempengaruhi adalah tingkat viral load (jumlah virus dalam darah) ibunya.
Oleh karena itu salah satu tujuan utama terapi adalah mencapai viral load yang tidak terdeteksi- seperti juga ART untuk siapa pun dengan HIV. Viral load terutama penting pada waktu melahirkan. Jangka waktu antara saat pecah ketuban dan bayi lahir juga merupakan salah satu faktor resiko penularan.
Faktor resiko lain termasuk kelahiran prematur ( bayi lahir terlalu dini) dan kekurangan perawatan HIV sebelum melahirkan.
Beberapa pokok kunci:
• Status HIV bayi dipengaruhi oleh kesehatan ibunya.
• Status HIV bayi tidak dipengaruhi sama sekali oleh status HIV ayahnya.
• Status HIV bayi tidak dipengaruhi oleh status HIV anak lain dari ibu.

DIAGNOSIS HIV
1. PADA IBU
Ditegakkan berdasarkan pemeriksaan laboratorium :
• Uji antibodi HIV digunakan untuk menapis infeksi.
• Pengujian ELISA atau EIA positif secara berulang, diperkuat dengan uji Western blot sebelum hasil positif tersebut dilaporkan.
• Untuk hasil positif palsu, dilakukan reaksi silang ELISA dan EIA dengan antibodi-antibodi lain.
• Uji Western blot yang belum pasti harus diulang dalam 3 sampai 6 bulan.
• Jarang terjadi hasil positif palsu dari uji Western blot.
• Hasil yang belum jelas harus diperkuat dengan biakan virus atau uji PCR.
• Uji PCR dan biakan virus sangat sensitif, karena diuji langsung terhadap keberadaan virus, namun sangat mahal.
• Pengukuran PCR terhadap muatan virus juga digunakan untuk memonitor perjalanan infeksi dan respons terhadap pengobatan.


2.PADA BAYI
Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu menyusui. Bila infeksi menularkan melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk dideteksi setelah beberapa bulan. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.

Tes Antibodi
Antibodi terhadap HIV diserahkan dari ibu ke janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang terlahir oleh ibu yang HIV-positif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu melahirkan. Sedikitnya, antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah antibodi ibu mulai berkurang, dan hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi negatif pada usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan. Sebaliknya, setalah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi sendiri terhadap HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.
Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV asal anak tidak diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam tiga bulan sebelum dites. Seorang anak yang tidak disusui selama tiga bulan terakhir dengan hasil tes HIV negatif tidak terinfeksi HIV.

Tes Virus
Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi dalam bulan-bulan pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR, yang biasanya dilakukan untuk mengukur viral load, dapat deteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini masih sangat mahal (lebih dari Rp 1 juta) dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat dilakukan di sedikit laboratorium di Indonesia.
Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan menunjukkan hasil positif pada tes PCR baru setelah lahir, sementara kebanyakan akan menunjukkan hasil positif pada usia 14 hari. Namun virus pada 10 persen bayi terinfeksi HIV baru terdeteksi setelah enam minggu. Namun bila anak atau ibunya dulu memakai obat antiretroviral (terutama nevirapine) untuk mencegah penularan HIV ke bayi waktu melahirkan, virus mungkin tetap ditekankan dan tidak terdeteksi sampai empat bulan.
Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan alat PCR, dan semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru. Hasil viral load yang rendah (di bawah 10.000) kemungkinan positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.
Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya dua tes virus dilakukan untuk konfirmasi bahwa anak tidak terinfeksi. Tes ini dapat dilakukan setelah usia satu bulan, atau empat bulan bila ARV sebelumnya dipakai oleh ibu atau bayi. Sebaiknya juga tes antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan sebagai konfirmasi ulang.

Protokol Tes yang Diusulkan
Penyakit yang diakibatkan HIV dapat berlanjut secara cepat pada bayi: angka kematian mendekati 50 persen pada anak terinfeksi HIV di bawah dua tahun bila HIV-nya tidak diobati. Jadi dengan semakin luas ketersediaan terapi antiretorviral (ART) untuk bayi dan anak, tujuan kita dengan menentukan apakah bayi terinfeksi secara dini terutama untuk bertemu bayi HIV-positif yang membutuhkan perawatan dan pengobatan daripada sekadar untuk konfirmasi ketidakadaan infeksi HIV.
Sementara tes PCR yang positif (bila dikonfirmasi) membuktikan bahwa bayi terinfeksi HIV, seperti dibahas di atas, tes PCR yang negatif tidak membuktikan bahwa bayi tidak terinfeksi. Namun, hasil PCR negatif menunjukkan bahwa bayi tersebut tidak berisiko tinggi kelanjutan penyakit yang diakibatkan HIV (karena viral load-nya rendah). Bayi dengan tes PCR negatif dan tetap tidak bergejala sebaiknya dites antibodinya setelah berusia 18 bulan atau tiga bulan setelah penyusuan dihentikan. Sebaliknya seorang bayi dengan hasil tes PCR negatif tetapi bergejala sebaiknya mendapatkan tes diagnostik lanjutan. Walaupun gejala penyakit terkait HIV sering serupa dengan gejala penyakit umum pada masa kanak-kanak, dan harus dilakukan upaya untuk mengesampingkan diagnosis lain, tes PCR ulang diusulkan bila infeksi HIV dicurigai.


Garis Dasar
• Tes antibodi HIV yang positif pada anak berusia 18 bulan ke atas berarti anak terinfeksi HIV
• Tes antibodi HIV yang positif pada anak di bawah usia 18 bulan tidak membantu membedakan anak terinfeksi HIV dari anak yang tidak terinfeksi
• Tes antibodi HIV yang negatif tiga bulan atau lebih setelah penyusuan dihentikan, atau kapan saja pada anak yang tidak disusui berarti anak tersebut tidak terinfeksi HIV
• Tes antibodi HIV yang negatif pada anak yang masih disusui atau dengan penyusuan baru saja dihentikan tidak cukup untuk mengesampingkan infeksi HIV. Tes harus diulang sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
• Tes PCR HIV yang positif yang langsung dikonfirmasi dengan tes ulang pada anak berusia enam minggu atau lebih berarti anak tersebut terinfeksi HIV
• Tes PCR HIV yang negatif pada anak berusia enam minggu ke atas tidak meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang berhenti disusui sebelum berusia 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV pada usia 18 bulan
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang meneruskan penyusuan setelah 15 bulan sebaiknya dites antibodi HIV sedikitnya tiga bulan setelah penyusuan dihentikan
• Anak dengan tes PCR HIV negatif yang mengembangkan gejala penyakit terkait HIV sebaiknya dites PCR HIV ulang

PENGOBATAN INFEKSI HIV
Pengobatan infeksi HIV belum diketemukan dengan baik karena duplikasi virus berlangsung sangat cepat, yaitu sekitar 6 jam, serta tidak mempunyai bentuk yang khas. Oleh karena itu, antibodinya belum ditemukan dengan pasti. Pengobatan yang diberikan saat ini hanya dalam bentuk antivirus yang diharapkan agar duplikasi dapat dihambat sehingga umur penderita dapat diperpanjang. Obat yang paling banyak dipergunakan adalah Zidovidine (AZT-ZDV) 2 kali 100 mg. Pengobatan ini mempunyai arti menghambat pertumbuhan reduplikasi virus sebagai profilaksis dan ditambah dengan pengobatan infeksi sekunder. Profilaksis infeksi HIV dilakukan dengan mempergunakan kondom dan bila pada pemerikasaan telah terjadi infeksi segera diberikan Zidovudine (ZDV) dengan selalu melakukan pemeriksaan terhadap CD4 dan T sel darah.
Zidovudine (ZDV) bisa menurunkan mortalitas maternal dan memperlambat permulaan infeksi mengambil kesempatan. Obat ini ditujukan untuk pasien-pasien yang terinfeksi HIV dengan hitung limposit CD4 kurang dari 200 sel/mm3. dosis initial per os adalah 100 mg lima kali sehari. ZDV intravena yang diberikan dalam persalinan harus terdiri dari dosis permulaan 2 mg/kg seterusnya diikuti dengan infus 1 mg/kg sampai selesai melahirkan. Hitung darah harus dilakukan setiap bulan, keracunan darah mengharuskan penghentian sementara pemberian obat atau pengurangan dosis, walaupun kemanjuran dosis yang rendah belum diketahui dengan pasti. Pengaruh sampingan utama adalah pankreatitis dan neuropati pada saraf perasa yang menimbulkan rasa nyeri. Belum ada laporan tentang malformasi dari pengobatan ini. Bayi baru lahir harus terus diobati setiap hari selama 6 minggu.
Pada bulan 1994, dinas kesehatan nasional menghentikan penelitian klinik tentang penyelidikan pengaruh ZDV terhadap penularan HIV dari pasien-pasien yang terinfeksi kepada bayi mereka karena penularan virus secara vertikal menurun sebanyak dua pertiga. Ini adalah hasil dari suatu uji coba berkontrol yang dilakukan secara acak pada pasien-pasien yang memenuhi persyaratan kriteria penelitian. Tetapi harus didiskusikan dan ditawarkan kepada semua wanita hamil yang terinfeksi HIV.
Pemakaian zidovudin (retrovir) untuk mengurangi penularan perinatal Zidovudin (retrovir) juga dikenal sebagai ZDV, dahulu disebut AZT.

Selama kehamilan
Berdasarkan pada protokol 076 untuk kelompok uji coba klinis AIDS (AIDS Clinical Trial Group/ACTG), semua wanita yang hamil dan positif HIV harus dirujuk untuk terapi ZDV setelah trimester pertama.
Tiga program yang biasa digunakan adalah :
• ZDV 100 mg PO, 5 x sehari (protokol 076)
• ZDV 200 mg PO, 3 kali sehari.
Klien dengan anemia (Hb kurang dari 9) perlu dipertimbangkan untuk mendapatkan transfusi, eritropoetin atau menghentikan pengobatan.


Pada persalinan
ZDV diberikan secara IV sebagai dosis pembebanan 2 mg/kgBB selama lebih dari satu jam, dilanjutkan dengan 1 mg/kgBB tiap jam sampai kelahiran.

Pada bayi baru lahir
Syrup ZDV oral 2 mg/kgBB tiap 6 jam selama 6 minggu, yang dimulai pada 12 jam pertama kehidupan.

Namun demikian obat ini memiliki efek samping antara lain : Anemia, Neutropenia, Nausea, Insomnia, sakit kepala, ruam di kulit, dan Malaise


DAFTAR PUSTAKA

1. Manuaba Ida Bagus Gde, Penuntun Kepaniteraan Klinik Obstetri & Ginekologi, EGC, Jakarta, 2003, hal. 287-289.
2. Rayburn William F., Carey J. Cristopher, Obstetri & Ginekologi, Widya Medika, Jakarta, 2001, hal. 107-110.
3. Direktorat Jendral Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, Pedoman Nasional Pencegahan Penularan HIV dari Ibu ke Bayi, Departemen Kesehatan, Jakarta, 2006
4. Green Chris W, HIV, Kehamilan dan Kesehatan Perempuan, Yayasan Spiritia, Jakarta, 2005
5. Watts, Heather ,Management of Human Immunodeficiency Virus Infection in Pregnancy. Available at : http://www.nejm.org
6. McGowan Joseph et al. Prevention of perinatal HIV transmission during pregnancy. Available at : http://www.jac.org
7. Diagnosis HIV pada anak, The Pediatric Clinical Manual, The International Center for AIDS Programs, Columbia University Mailman School of Public Health, 2005 . Available at : http://www.google.com